PENGGELAPAN

Definisi Penggelapan

Bab XXIV (buku II) KUHP mengatur tentang penggelapan (verduistering),terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Di samping penggelapan sebagaimana diatur dalam Bab XXIV, ada rumusan tindak pidana lainnya yang masih mengenai penggelapan, yaitu pasal 415 dan 417, tindak pidana mana sesungguhnya merupakan kejahat a n jabatan, yang kini ditarik ke dalam tindak pidana korupsi oleh UU no. 31 Th. 1999 dan UU no. 20 Th, 2001, oleh karenanya tidak dimuat dalam Bab XXIV, melainkan dalam bab tentang kejahatan jabatan (Bab XXVIII).

::. Penggelapan dalam Bentuk Pokok

Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam pasal 372 y ang dirumuskan sebagai berikut:

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 900,00.

Rumusan itu disebut/diberi kualifikasi penggelapan. Rumusan di atas tidak memberi arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan verduistering yang ke dalam bahasa kita diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi masyarakat Belanda diberikan arti secara luas (figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang atau gelap.

Pada contoh seseorang dititipi sebuah sepeda oleh temannya, karena memerlukan uang, sepeda itu dijualnya. Tampaknya sebenarnya penjual ini menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan temannya itu dan tidak berarti sepeda itu dibikinnya menjadi gelap atau tidak terang. Lebih mendekati pengertian bahwa petindak tersebut menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda, hak mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai atau memegang sepeda itu.

Dari rumusan penggelapan sebagaimana tersebut di atas, jika dirinci terdiri dari unsur-unsur objektif meliputi perbuatan memiliki (zicht toe.igenen), sesuatu benda (eenig goed) , yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja (opzettelijk), dan penggelapan melawan hukum (wederrechtelijk).

> Unsur – Unsur Objektif

  1. Perbuatan memiliki. Zicht toe.igenen diterjemahkan dengan perkataan memiliki, menganggap sebagai milik, atau ada kalanya menguasai secara melawan hak, atau mengaku sebagai milik. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25-2-1958 No. 308 K/Kr/1957 menyatakan bahwa perkataan Zicht toe.igenen dalam bahasa Indonesia belum ada terjemahan resmi sehingga kata-kata itu dapat diterjemahkan dengan perkataan mengambil atau memiliki. Waktu membicarakan tentang pencurian di muka, telah dibicarakan tentang unsur memiliki pada kejahatan itu. Pengertian memiliki pada penggelapan ini ada perbedaannya dengan memiliki pada pencurian. Perbedaan ini, ialah dalam hal memi­ liki pada pencurian adalah berupa unsur subjektif, sebagai maksud untuk memiliki (benda objek kejahatan itu). Tetapi pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan se b agai maksud saja. Tetapi pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja. Tetapi memiliki pada penggelapan, karena merupakan unsur tingkah laku, berupa unsur objektif, maka memiliki itu harus ada bentuk/wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat untuk menjadi selesainya penggelapan. Bentuk-bentuk perbuatan memiliki, misalnya menjual, menukar, menghibahkan, menggadaikan, dan sebagainya. Pada pencurian, adanya unsur maksud untuk memiliki sudah tampak dari adanya perbuatan mengambil, oleh karena sebelum kejahatan itu dilakukan benda tersebut belum ada dalam kekuasaannya. Lain halnya dengan penggelapan. Oleh sebab benda objek kejahatan, sebelum penggelapan terjadi telah berada dalam kekuasaannya, maka menjadi sukar untuk menentukan kapan saat telah terjadinya penggelapan tanpa adanya wujud perbuatan memiliki.
  2. Unsur objek kejahatan (sebuah benda). Dimuka telah dibicarakan bahwa dalam MvT mengenai pembentukan pasal 362 diterangkan bahwa benda yang menjadi objek pencurian adalah benda-benda bergerak dan berwujud, yang dalam perkembangan praktik selanjutnya sebagaimana dalam berbagai putusan pengadilan telah ditafsirkan sedemikian luasnya, sehingga telah menyimpang dari pengertian semula. Seperti gas dan energi listrik juga akhirnya dapat menjadi objek pencurian. Berbeda dengan benda yang menjadi objek penggelapan, tidak dapat ditafsirkan lain dari sebagai benda yang bergerak dan berwujud saja. Perbuatan memiliki terhadap benda yang ada dalam kekuasaannya sebagaimana yang telah diterangkan di atas, tidak mungkin dapat dilakukan pada benda-benda yang tidak berwujud. Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap. Adalah sesuatu yang mustahil terjadi seperti menggelapkan rumah, menggelapkan energi listrik maupun menggelapkan gas. Kalaupun terjadi hanyalah menggelapkan surat rumah (sertifikat tanah ), menggelapkan tabung gas. Kalau terjadi misalnya menjual gas dari dalam tabung yang dikuasainya karena titipan, peristiwa ini bukan penggelapan, tetapi pencurian. Karena orang itu dengan gas tidak berada dalam hubungan menguasai. Hubungan menguasai hanyalah terhadap tabungnya. Hanya terhadap tabungnya ia dapat melakukan segala perbuatan secara langsung tanpa melalui perbuatan lain terlebih dulu. Lain dengan isinya, untuk berbuat terhadap isinya misalnya menjualnya, ia tidak dapat melakukannya secara langsung tanpa melakukan perbuatan lain, yakni membuka kran tabung untuk mengeluarkan/memindahkan gas tersebut.
  3. Sebagian atau seluruhnya miik orang lain. Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun telah dilepaskan hak miliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Benda milik suatu badan hukum, seperti milik negara adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki oleh orang, adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti bukan milik petindak, dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan maupun pencurian. Orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau orang tertentu, melainkan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri. Arrest HR tanggal 1 Mei 1922 dengan tegas menyatakan bahwa untuk menghukum karena penggelapan tidak disyaratkan bahwa menurut hukum terbukti siapa pemilik barang itu. Sudah cukup terbukti penggelapan bila seseorang menemukan sebuah arloji di kamar mandi di stasiun kereta api, diambilnya kemudian timbul niatnya untuk menjualnya, lalu dijualnya.
  4. Benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Di sini ada 2 unsur, yang pertama berada dalam kekuasaannya, dan kedua bukan karena kejahatan. Perihal unsur berada dalam kekuasaannya telah disinggung di atas. Suatu benda berada dalam kekuasaan seseorang apabila antara orang itu dengan benda terdapat hubungan sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan yang lain. Misalnya ia langsung dapat melakukan perbuatan : menjualnya, menghibahkannya, menukarkannya, dan lain sebagainya, tanpa ia harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu (perbuatan yang terakhir mana merupakan perbuatan antara agar ia dapat berbuat secara langsung).

KUHP dalam Buku II tentang Kejahatan terhadap Harta Kekayaan, diatur tentang penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda yang dimilikinya. Secara umum, unsur-unsur tindak pidana terhadap harta kekayaan ini adalah mencakup unsur obyektif dan unsur subyektif.

Adapun unsur obyektif yang dimaksud adalah berupa hal-hal sebagai berikut :

1) Unsur perbuatan materiel, seperti perbuatan mengambil (dalam kasus pencurian), memaksa (dalam kasus pemerasan), memiliki / mengklaim (dalam kasus penggelapan, menggerakkan hati / pikiran orang lain (dalam kasus penipuan) dan sebagainya;

2) Unsur benda / barang;

3) Unsur keadaan yang menyertai terhadap obyek benda yakni harus merupakan milik orang lain;

4) Unsur upaya-upaya tertentu yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang dilarang;

5) Unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya perbuatan yang dilarang.

Sedangkan unsur subyektifnya adalah terdiri atas :

l) Unsur kesalahan yang dirumuskan dengan kata-kata seperti “dengan maksud”, “dengan sengaja”, “yang diketahuinya / patut diduga olehnya” dan sebagainya; dan

2) Unsur melawan hukum baik yang ditegaskan eksplisit / tertulis dalam perumusan pasal maupun tidak.

Mengenai Delik Penipuan, KUHP mengaturnya secara luas dan terperinci dalam Buku II Bab XXV dari Pasal 378 s/d Pasal 395 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus penipuan (tindak pidana pokoknya) terdapat dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling larna 4 (empat) tahun” .

Berdasar bunyi Pasal 378 KUHP diatas, maka secara yuridis delik penipuan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa : 

1. Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan pelaku untuk menipu orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang dengan kata-kata : “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau arang lain secara melawan hukum”; dan 

 

2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas : (a) Unsur barang siapa; (b) Unsur menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang; dan (c) Unsur cara menggerakkan orang lain yakni dengan memakai nama palsu / martabat atau sifat palsu / tipu muslihat / rangkaian kebohongan.

Dengan demikian untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku kejahatan penipuan, Majelis Hakim Pengadilan di sidang Pengadilan harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penipuan baik unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Hal ini berarti, dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, karena pengertian kesengajaan pelaku penipuan (opzet) secara teori adalah mencakup makna willen en witens (menghendaki dan atau mengetahui), maka harus dapat dibuktikan bahwa terdakwa memang benar telah :

a. bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum

b. “menghendaki” atau setidaknya “’mengetahui / menyadari” bahwa perbuatannya sejak semula memang ditujukan untuk menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang kepadanya (pelaku delik).

c. “mengetahui / menyadari” bahwa yang ia pergunakan untuk menggerakkan orang lain, sehingga menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang kepadanya itu adalah dengan memakai nama palsu, martabat palsu atau sifat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.

Unsur delik subyektif di atas, dalam praktek peradilan sesungguhnya tidak mudah untuk ditemukan fakta hukumnya. Terlebih lagi jika antara “pelaku” dengan “korban”penipuan semula memang meletakkan dasar tindakan hukumnya pada koridor suatu perjanjian murni. Oleh karena itu, tidak bisa secara sederhana dinyatakan bahwa seseorang telah memenuhi unsur subyektif delik penipuan ini hanya karena ia telah menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada seseorang kemudian orang tersebut tergerak ingin menyertakan modal dalam usaha bisnis tersebut. Karena pengadilan tetap harus membuktikan bahwa ketika orang tersebut menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada orang lain tadi, harus ditemukan fakta hukum pula bahwa ia sejak semula memang bermaksud agar orang yang diberi informasi tadi tergerak menyerahkan benda / hartanya dan seterusnya, informasi bisnis tersebut adalah palsu / bohong dan ia dengan semua itu memang bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Di samping itu, karena sifat / kualifikasi tindak pidana penipuan adalah merupakan delik formil – materiel, maka secara yuridis teoritis juga diperlukan pembuktian bahwa korban penipuan dalam menyerahkan suatu benda dan seterusnya kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar kausaliteit (berhubungan dan disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan dalam pasal 378 KUHP. Dan hal demikian ini tentu tidak sederhana dalam praktek pembuktian di Pengadilan. Oleh karenanya pula realitas suatu kasus wan prestasi pun seharusnya tidak bisa secara simplifistik (sederhana) ditarik dan dikualifikasikan sebagai kejahatan penipuan.

Selanjutnya mengenai Tindak Pidana Penggelapan, KUHP telah mengaturnya dalam Buku II Bab XXIV yang secara keselurahan ada dalam 6 (enam) pasal yaitu dari Pasal 372 s/d Pasal 377 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus dari penggelapan (tindak pidana pokoknya) terdapat pada Pasal 372 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukam memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“

Berdasar bunyi Pasal 372 KUHP diatas, diketahui bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa : 1. Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan petaku untuk menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan 2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas : (a) Unsur barang siapa; (b) Unsur menguasai secara melawan hukum; (c) Unsur suatu benda; ( d) Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan (e) unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.

Jadi untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku penggelapan, Majelis Hakim Pengadilan pun harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan, apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penggelapan baik berupa unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, kesengajaan pelaku penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah benar (berdasar fakta hukum) terdakwa memang :

a. “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum

b. “mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai itu adalah sebuah benda

c. “mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain

d. “mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.

Sedangkan terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan, menurut perspektif doktin hukum pidana ada beberapa hal yang harus dipahami juga sebagai berikut :

1. Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda yang milik orang lain tersebut secara melawan hukum. Unsur melawan hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal yang harus melekat adap ada perbuatan menguasai benda milik orang lain tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan. Menurut van Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan hukum dalam hal ini cukup dan bisa diartikan sebagai “bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat”.

2. Cakupan makna “suatu benda” milik orang lain yang dikuasai pelaku penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek cenderung terbatas pada pengertian benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan atau biasa disebut dengan istilah “benda bergerak”.

3. Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan, sebagian atau seluruhnya merupakan milik orang lain, adalah mengandung arti (menurut berbagai Arrest Hoge Raad) bahwa harus ada hubungan langsung yang bersifat nyata antara pelaku dengan benda yang dikuasainya.

Berdasarkan paparan singkat mengenai apakah hakekat perbuatan wan prestasi, penipuan, dan pengelapan tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa meskipun batas antara ketiganya dalam realitas kasus seringkali memang tipis, namun tetap dapat dibedakan berdasar doktrin-doktrin hukum terkait. Sehingga suatu kasus wan prestasi sebagaimana telah diilustasikan pada pendahuluan, yang hakekatnya merupakan masalah murni keperdataan (kontraktual indivual), semestinya tetap harus dipandang dan diletakkan secara proporsional dan tidak ditarik secara sederhana apalagi dengan “pemaksaan rekayasa” sebagai kasus kejahatan penipuan ataupun penggelapan, terlebih lagi jika hal itu dilakukan dengan maksud atau tujuan-tujuan tertentu. Disini etika berperkara atau mendampingi perkara seorang klien yang berbasis filosofi pengungkapan dan pembelaan yang benar (bukan sekedar yang bayar), menjadi hal yang signifikan untuk direnungkan dan lebih penting lagi ialah dipraktekkan.

Wan Prestasi

Dalam perspektif hukum perdata, masalah wan prestasi bisa diidentifikasi kemunculan atau terjadinya melalui beberapa parameter sebagai berikut :

1.       Dilihat dari Segi Sumber Terjadinya Wan Prestasi

Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah melakukan wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara dua pihak atau lebih sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 BW / KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa: “Supaya terjadi persetujuan yang sah dan mengikat, perlu dipenuhi empat syarat yaitu : adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirirrya; adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan; adanya suatu pokok persoalan tertentu yang disetujui; suatu sebab yang tidak terlarang.”

Secara umum, wan prestasi biasanya terjadi karena debitur (orang yang dibebani kewajiban untuk mengerjakan sesuatu sesuai perjanjian) tidak memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati, yaitu :

a. tidak memenuhi prestasi sama sekali; atau

b. tidaktepat waktu dalam memenuhi prestasi; atau

c. tidak layak dalan pemenuhan prestasi sebagaimana yang dijanjikan.

 2.       Dilihat dari Segi Timbulnya Hak Menuntut Ganti Rugi

Penuntutan ganti rugi pada wan prestasi diperlukan terlebih dahulu adanya suatu proses, seperti pernyataan lalai dari kreditor (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini penting karena Pasal 1243 BW / KUHPerdata telah menggariskan bahwa “perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kecuali jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan bahwa debitur langsung dapat dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan. Ketentuan demikian juga diperkuat oleh salah satu Yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan “apabila perjanjian secara tegas telah menentukan tentang kapan pemenuhan perjanjian maka menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban (baca: wan prestasi) sebelum hal itu secara tertulis oleh pihak kreditur “.

 3.       Dilihat dari Segi Tuntutan Ganti Rugi

Mengenai perhitungan tentang besaranya ganti rugi dalam kasus wan prestasi secara yuridis adalah dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1237B W / KUHPerdata yang menegaskan bahwa : “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu meniadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilahirkan, menjadi tanggungannya”. Selanjutnya ketentuan Pasal 1246 BW / KUHPerdata menyatakan, “biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”.

Berdasarkan pasal 1246 BW / KUHPerdata tersebut, dalam wan prestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst). Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wan prestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas. Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan masalah tuntutan ganti rugi pada kasus perbuatan melawan hukum. Dalam kasus demikian, tuntutan ganti rugi harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1265 BW / KUHPerdata, yakni tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya dan tidak perlu perincian. Jadi tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand)herstel in de vorige toestand). Namun demikian, meski tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi dalam kasus akibat perbuatan melawan hukum ini, seperti terlihat pada Putusan tertanggal 7 Oktobet 1976 yang menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak.” Demikian pula Putusan Mahkamah Agung tertanggal 13 April 1978, yang menegaskan bahwa “soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.