Agar Mata Tetap Sehat, Rutinlah Ngemil Jagung Manis

 
thumbnail

Foto: Thinkstock Sayuran berwarna kuning cerah ini selalu cocok diolah jadi berbagai jenis menu. Dari direbus, tumis, bakar, hingga diolah jadi puding bakwan, ataupun sup. Selain enak, jagung manis memang bisa mencegah kanker paru-paru!

Jagung manis diketahui mengandung senyawa bernama beta cryptoxanthin, yang manfaatnya mirip dengan beta carotene. Saat dikonsumsi, tubuh akan mengubah beta cryptoxanthin menjadi vitamin A.

Seperti dimuat dalam Cancer Epidemiology Biomarkers and Prevention, terdapat hubungan antara konsumsi beta cryptoxanthin dengan perkembangan kanker paru-paru. Disimpulkan jika kandungan beta cryptoxanthin sangat baik dikonsumsi untuk menekan risiko kanker paru-paru.

Tak hanya proteksinya terhadap kesehatan paru-paru, rupanya jagung manis juga memiliki kandungan antioksidan zeaxanthin. Zeaxanthin merupakan elemen yang memunculkan warna kuning pada jagung. Konsumsi zeaxanthin sangat baik untuk melindungi mata dari berbagai penyakit, salah satunya penyakit pada makula .

Makula adalah daerah di tengah retina, yang mendeteksi cahaya di depan mata.Makula sangatlah penting dalam menunjang aktivitas tubuh, seperti membaca, menulis, juga mengenali wajah dan warna. Selain itu, jagung manis juga mengandung folat dan beta carotene, yang juga berperan dalam melindungi kesehatan makula.

Berdasarkan buku Tabel dan Komposisi Pangan Indonesia yang dikeluarkan oleh Persatuan Ahli Gizi tahun 2009, tiap 100 gram jagung kuning rebus mengandung 53,2 gram air dan memasok energi 142 kkal. Sementara itu, di dalamnya terdapat 30,3 gram karbohidrat, 105 mg fosfor, juga 225 ug karoten total.


ANALISIS SUB BUDAYA KEKERASAN DALAM KELOMPOK GANG REMAJA

BERDASARKAN TIPOLOGI WALTER MILLER

Suatu  kelompok dikatakan sebagai sebuah gang, ketika gang  itu muncul  untuk mendapatkan  keuntungan  dari  aktivitas  kriminal  yang dilakukan  oleh  anggota-anggota  didalamnya  secara berkesinambungan. Beberapa unsur kejahatan harus muncul sebagai ciri khasnya untuk dapat didefinisikan sebagai gang. Suatu kelompok tidak  dapat  secara  sederhana  didefinisikan sebagai gang  hanya karena kelompok  tersebut diberi  label menyimpang. Suatu kelompok menjadi gang jika  kelompok  tersebut  secara  nyata terlibat dalam kejahatan.

Sebuah kelompok dapat didefinisikan  sebagai  geng hanya bila anggota-anggota  didalamnya  melakukan  kejahatan  dan  mengambil keuntungan dari padanya. terdapat  perbedaan  antara  bagian  struktur sosial yang satu dengan yang lain dalam tipe adaptasi terhadap cara-cara ilegal yang tersedia bagi seseorang dalam mencari penyelesaian masalah-masalah  yang  muncul  sebagai  akibat  terbatasnya penggunaan  cara-cara  yang  legal  dalam  mencapai  tujuan budaya. Dalam pengertian  ini, individu berada dalam dua  jenis  struktur  kesempatan,  satu  legal  yang  lainnya  tidak  legal. Keterbatasan untuk mencapai tujuan budaya dengan cara yang legal, respon  yang muncul  dan  para  delinkuen  itu mungkin  saja  bervariasi sesuai dari variasi penggunaan cara-cara ilegal.

Sub  budaya  kriminal  dapat  berkernbang di lingkungan  ketetanggaan  yang  dicirikan  oleh  adanya  keterikatan yang erat diantara pelanggar dan berbagai  tingkatan usia dari antara elemen-elemen  kriminal  dan  konvensional. Sebagai  konsekuensi  dan hubungan  integratif  ini  muncul  struktur  kesempatan  baru  yang menyediakan  jalan  alternatif  mencapai  kesuksesan.  Hal  ini disebabkan  tekanan  yang  dihasilkan  oleh  akses  penggunaan  cara-cara  yang  sah  untuk mencapai  kesuksesan  terputus.  Kontrol  sosial atas perilaku pemuda  secara efektif diterapkan, adanya pembatasan perilaku  ekspresif  dan  pemaksaan  pengadopsian  instrumen  tersebut menyebabkan  ketidakpuasaan,  jika  kriminalitas  menjadi  gaya  hidup mereka.

Pembatasan  yang  tegas atas kesempatan untuk melakukan hal yang konvensional dan kriminal menimbulkan  frustasi dan  ketidakpuasan  dalam  mendapatkan  posisi.  Ketidakpuasan  ini semakin  besar  pada  kondisi  masyarakat  yang  didalamnya  terdapat kontrol  sosial  yang  lemah,  integrasi  yang  kurang  diantara  pelanggar hukum  dari  berbagai  tingkatan  usia  dan  kurangnya  integrasi  yang membawa  nilai-nilai  konvensional  dan  kriminal,  hal  ini  tidak  dapat mencegah  munculnya  frustasi  diantara  pemuda.  Kondisi  ini  yang menyebabkan  remaja  beralih  untuk menggunakan  kekerasan  dalam mencari status. Kekerasan kemudian berkembang pada kondisi yang relatif  terpisah  dari  semua  sistem  kesempatan  yang  terinstitusional dan kontrol sosial.

Namun yang paling sering  luput dari perkelahian itu  sendiri.  Kemampuan  calon  anggota  untuk  disegani  atau  untuk mendapatkan  status dikalangan geng. Tujuan geng  ingin mengetahui apakah  anggotanya  berpotensi  atau  tidak  untuk  berkelahi,  adalah sebagai antisipasi  jika mereka  tertangkap atau  terkurung yang mana memaksa  mereka  untuk  berkelahi.  Geng  ingin  semua  anggotanya mampu menjaga  keamanan  dirinya  sendiri,  sebagai    anggota  geng yang bertanggung jawab.

Komponen yang dominan dari motivasi pelanggar perilaku  yang  digunakan  oleh  anggota  dari  kelompok  kelas lebih rendah  yang  menyendiri  melibatkan  suatu  usaha  positif  untuk  mencapai  keadaan,  kondisi-kondisi,  atau  kualitas  dihargai  di  dalam lingkungan pergaulan budaya pelaku yang paling penting.

Dalam penjelasan Miller tentang geng sebagai adaptasi budaya kelas bawah mempunyai premis sebagai berikut:

a. Trouble 

Bagi  anggota  geng  perilaku  melanggar  hukum adalah  sah  dilakukan  oleh  anggota  geng  sehingga  sah untuk  dilakukan  oleh  masing-masing  anggotanya.  Perilaku  mencari keributan  di jalanan  baik  terhadap  kelompok  geng  lainnya maupun  masyarakat  umum  sering  dilakukan  oleh geng, seperti  mengadakan  bentrokan  fisik  dijalanan  dengan  menggunakan senjata  tajam,samurai,  golok,  tongkat  softball  dan  senjata  lainnya  yang sering  digunakan  geng  dalam  melakukan  kekerasan.  Kegiatan kriminalitas  lainnya sering pula dilakukan seperti perampasan barang-barang  berhaga  milik  orang  lain. Mereka  terkadang tidak  pernah  takut  terhadap  pihak  kepolisian  dalam  melaksanakan tindakan melanggar hukum.

b. Toughness

Anggota  geng  yang mempunyai  aspek  kelebihan dalam  kemampuan  berkelahi    mendapat  pengakuan  lebih  didalam komunitas  geng  seperti  mampu  memukul  sekali  jatuh  terhadap lawan,  menghindar  kejaran  lawan  dengan  taktik  berlari  sekencang-kencangnya  apabila  terjadi  bentrokan  fisik  antar  geng.  Juga  apabila seorang  anggota  geng  mempunyai  nyali  yang  besar  atau  keberanian dalam  menghadapi  lawan  meski  yang  dihadapi  itu  banyak  sedang anggota geng sendirian atau berjumlah  sedikit dari  jumlah  lawan, akan kemampuannya  itu sangat dihargai di dalam komunitas geng.

c. Smartness

Anggota  geng  mempunyai  kebiasaan  dalam penyerangan  di  jalan,  apabila  lawan  mereka  kalah  maka  barang-barang  berharga  lainnya  akan  dirampas  guna  mendapatkan kepentingan materi.  Anggota  geng  juga mempunyai  tim,  yaitu sekelompok  anggota  geng  yang  dikhususkan  untuk  merampas barang-barang  berharga milik  orang  lain  di  jalanan,  tim  ini  berguna untuk menggumpulkan uang baik untuk kesenangan anggota geng hingga  untuk  penebusan  anggota  geng  yang  tertangkap pihak  kepolisian.

d. Exitement

Anggota  geng  dalam  kegiatan  rutin  berkumpul malam minggu maupun malam  biasa  biasanya  harus  tersedia minuman keras dengan kadar alkohol tinggi. Minum-minuman keras sudah menjadi kebiasaan mereka dalam berkumpul.  Dalam  berkumpul  di  wilayah  masing-masing  distrik  juga tersedia  minuman  berakohol  tinggi  sambil  menyanyi  sekeras-kerasnya diiringi irama alat musik gitar yang tidak beraturan. Perilaku kegembiraan  dalam  geng  juga  diekspresikan  dalam  perkelahian, mencari-cari masalah  di  jalan  serta  kebut-kebutan  yang  dilakukan  geng.

e. Authonomy

Didalam  geng  meskipun  ada  aturan  di  dalam komunitas  tetap  saja  dilakukan  hukum  rimba.

Berdasarkan  uraian mengenai sub budaya kekerasan pada kelompok  gang pada  awal  berdirinya merupakan  suatu  kelompok  sosial  yang tercipta  karena  adanya  persamaan minat. gang dapat  dikatakan  sebagai  suatu kelompok  sosial.  Tujuan-tujuan  dari  terbentuknya  gang ini  tentunya  akan menguntungkan  bagi  para  anggotanya  sehingga  dia  akan  tertarik  untuk  ikut bergabung  dengan  gang ini.  Keinginan  memberontak  dan  menghilangkan pengaruh orang  tua, kebutuhan akan ekonomi  juga menjadikan para  remaja  ini tertarik untuk ikut bergabung dengan gang.

 Dapat  dilihat  bahwa  proses  perekrutan  yang  dilakukan  oleh  kelompok gang memang sangat penuh dengan kekerasan dan banyak menyimpang dari hukum  serta  norma-norma  yang  hidup  pada  masyarakat  bila  dilihat  secara singkat  dengan  kacamata masyarakat  pada  umumnya.  Stigma  yang  diberikan masyarakat  pada  kelompok  gang ini  memang  penuh  dengan  kekerasan  dan penyimpangan-penyimpangan, singkatnya hanya hal-hal negatif yang menempel pada  identitas  kelompok  mereka  sesuai  dengan  perilaku  keseluruhan  geng. Tekanan mental serta kekerasan fisik yang dilakukan pada proses perekrutan gang bertujuan untuk kelangsungan hidup masing-masing anggota sendiri  pada  khususnya  dan  kelangsungan  hidup  kelompok  pada  umumnya.

Karena  pada  kenyataannya  kekerasan  dan  bentrokan-bentrokan  fisik  dengan kelompok lainnya memang sering terjadi, dan keberhasilan dari bentrokan itu  merupakan  suatu  kemenangan  tersendiri  bagi  kelompok  ini  untuk menunjukkan  keberadaannya  sebagai  satu  kelompok  yang  kuat.  Ketahanan mental serta fisik tiap anggota gang sangat berpengaruh pada hasil ini semua.

Kekerasan  yang  sudah  ditanamkan  dan  diterima  sejak  awal mula  para calon  anggota  gang ini  bergabung  hanya  merupakan  sebagian  kecil  saja  dari sekian  banyak  rentetan  kekerasan  yang  akan mereka  hadapi  setelah mereka menjadi  anggota  gang demi  membela  nama  besar  kelompoknya.  Kekerasan sudah  menjadi  identitas  bagi  kelompok  gang dimata  masyarakat  pada umumnya  dan  anggota  pada  khususnya.  Tanpa  adanya  ketahanan  fisik  dan mental  serta  rasa  kebersamaan  yang  kuat  sebagai  bagian  dari  satu  kesatuan pada  diri  setiap  anggota  gang,  tentu  saja  sulit  bagi  kelompok  gang untuk mempertahankan dan menunjukkan eksistensi keberadaan mereka di kalangan kelompok lainnya. Karena kelangsungan hidup kelompok gang berada pada  tangan  para  anggotanya. Geng  dianggap  menjadi  wadah sosial yang dapat menimbulkan perasaan anggotanya menjadi suatu kelompok, memunculkan  rasa  loyalitas  dan  solidaritas,  status  sosial  yang membuat  para anggotanya merasa dihargai, diakui dan diterima, perasaan aman, memberikan aspirasi dalam hidupnya,  sebagai wadah untuk mencapai  tujuan hidupnya, dan menimbulkan perasaan menjadi satu bagian dari totalitas kelompok.

Perilaku para anggota gang  yang menjurus pada tindakan kriminal seperti penganiayaan, perampasan hak milik, serta melanggar peraturan-peraturan lalu-lintas  merupakan  suatu  tindakan  yang  sangat  meresahkan  masyarakat.

Penyimpangan-penyimpangan para anggota gang terhadap kaidah dan nilai-nilai yang  terdapat  dalam  masyarakat.  gang seperti  wadah  bagi  para  anggotanya untuk  mengekpresikan  diri  dan  mencoba  hal-hal  baru  dan  digunakan  untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

Kelompok Geng merupakan kelompok yang beranggotakan individu-individu  dengan  beragam  latar  belakang  dan  beragam  motivasi  serta pengalaman hidupnya. Hal  ini akan memungkinkan  timbulnya  suatu pertukaran pengalaman (social experience) yang pada prosesnya (baik  itu disadari maupun tidak  oleh  para  anggotanya)  berpengaruh  besar  terhadap  pembentukan kepribadian  anggota-anggotanya.  Pembentukan  ini  dapat  menjadi  suatu  nilai yang  membedakan  kelompok gang dengan  kelompok-kelompok  lainnya.  Nilai-nilai  yang terdapat  di  geng  merupakan  suatu  identitas  kelompok  yang dipertahankan  secara  turun-temurun  ke  setiap  generasinya  sehingga  tercipta subbudaya yang berbeda dari budaya masyarakat pada umumnya.


Pengelolaan Sumberdaya Kehutanan

Dan Permasalahannya 

I.    Latar Belakang

Hutan merupakan asset Nasional yang mempunyai kontribusi penting dalam pembangunan dan sistem kehidupan.  Potensi kawasan hutan Indonesia  seluas 120,35 juta Ha, yang terdiri dari hutan lindung seluas 33,52 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 23,06 juta ha, hutan produksi seluas 35,2 juta ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 8,07 juta ha    (BAPLAN, 2004) dapat dimanfaatkan secara optimum dengan memperhatikan fungsi produksi, fungsi social dan fungsi lingkungan untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari ( sustainable forest management).

Berdasarkan Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada cagar alam, zona inti dan zona rimba pada Taman Nasional.  Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan, khususnya hutan produksi menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang pada saat ini keberadaan sumberdaya  hutan  sangat mengkhawatirkan sebagai akibat pemanfaatan hutan alam yang berlebihan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang lestari.  Kondisi ini diperparah dengan adanya aktivitas illegal logging dan peredaran hasil hutan illegal (Illegal trade) yang telah berkembang menjadi permasalahan yang sangat kompleks.

Dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan penertiban/ pemberantasan illegal logging  termasuk pemberantasan hasil hutan illegal / perdagangan kayu illegal (Illegal trade), Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan diharapkan dapat memberikan dukungan dan kontribusi terhadap pelaksanaan kebijaksanaan penertiban illegal logging sesuai tugas dan fungsinya.

II. Izin Usaha bidang Kehutanan

A.  Perizinan

Dalam Undang Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,  yang telah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, dinyatakan bahwa Pemanfaatan Hutan Produksi dilaksanakan melalui pemberian :

  1. Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan
  2. Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan
  3. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
  4. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan  Bukan Kayu
  5. Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu
  6. Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.

Disamping itu, Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan untuk tujuan khusus, yaitu untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta untuk Religi dan budaya.  Pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus dapat diberikan kepada masyarakat Hukum Adat, Lembaga Pendidikan, Lembaga Penelitian, Lembaga Sosial dan Keagamaan.

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan Bukan Kayu (IUPHHBK) tidak dapat diberikan pada areal yang telah dibebani IUPHHK dan IUPHHBK atau Izin pemungutan Hasil Hutan Kayu dan bukan kayu. Izin Usaha dimaksud diberikan dengan jangka waktu maksimum 55 tahun untuk IUPHHK dan 10 tahun untuk IUPHHBK.

Dari seluruh perijinan yang diatur dalam PP No. 34 Tahun 2002, hanya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu  (IUPHHK) pada hutan Alam dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan tanaman yang diberikan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Rekomendasi dari Bupati atau Walikota dan Gubernur.

IUPHHK pada hutan alam dan IUPHHK pada hutan tanaman diberikan melalui penawaran dalam pelelangan, yang dilaksanakan oleh Menteri Kehutanan dengan rekomendasi Bupati atau Walikota dan Gubernur setempat.  Prosedur pelelangan areal hutan produksi telah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.15/Menhut-II/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan alam melalui penawaran dalam pelelangan, dan P.05/Menhut-II/2004 jo P.10/Menhut-II/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman melalui penawaran dalam pelelangan.

B. Jumlah dan Luas IUPHHK- HA

Berdasar data perkembangan IUPHHK-HA yang ada, jumlah unit dan luas areal IUPHHK selama 10 tahun terakhir semakin menurun, baik dari jumlah maupun dari luas areal. Penurunan jumlah dan luas areal IUPHHK-HA rata-rata 20 unit/tahun dan 2,81 juta ha/tahun atau dalam kurun waktu 10 tahun telah berkurang + 50 %

Perkembangan jumlah dan luas IUPHHK-HA disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Jumlah & Luas IUPHHK-HA

No.

Tahun

Jumlah (Unit)

Luas areal (Juta Ha)

1. 1995/1996

487

56,17

2. 1996/1997

447

54,09

3. 1997/1998

427

52,28

4. 1998/1999

420

51,58

5. 1999/2000

387

41,84

6. 2000

362

39,16

7. 2001

351

36,42

8. 2002

270

28,08

9. 2003

267

27,80

10. 2004

287

27,82

C.  Perkembangan IUPHHK-Hutan Tanaman

1. Jumlah IUPHHK-HT sampai dengan Desember 2004 adalah sebanyak 214 unit, dengan luas areal 9.313.629 Ha yang terdiri dari IUPHHK-HT Pulp sebanyak 50 unit dengan areal kerja seluas 5.843.697 ha dan IUPHHK-HT Non Pulp (Pertukangan) sebanyak 164 unit dengan areal kerja seluas 3.469.932 Ha.

2.  Luas Tanaman sampai dengan Desember 2004 seluas 2.508.906 ha, terdiri dari IUPHHK-HT Pulp seluas 1.703.660 Ha dan IUPHHK-HT Non Pulp seluas 805.246 Ha.

 D. Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK)

    Terbukanya pasar ekspor kayu olahan dan kibijakan pengkentian ekspor kayu bulat pada tahun 1985 telah memacu pertumbuhan IPHHK (Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu). Pada tahap awal, IPHHK didominasi oleh industri penggergajian (Sawmills), yang kemudian diikuti oleh industri kayu lapis .  Perkembangan IPHHK sampai dengan tahun 2004, disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan Industri Primer Hasil Hutan Kayu

No.

Jenis

Jumlah (Unit)

Kapasitas (M3)

1. Sawn Timber

1.618

11.048.083

2. Plywood

107

9.433.095

3. Pulp

6

3.980.000

4. Block Board

78

2.085.738

5. Chipmill

7

1.923.236

6. Chopstik

47

1.530.557

7. Pensil Slat

7

106.666

8. Korek Api

8

6.576.800

9. Lunch Box

3

7.530

10. MDF

8

850.000

       Jumlah

1.889

37.541.705

E. Pengawasan Izin Usaha.

Pengelolaan hutan alam produksi secara lestari (PHAPL) merupakan serangkaian strategi dan pelaksanaan kegiatan untuk menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi produksi, ekologi dan social dari hutan produksi.

Untuk mengetahui kinerja pelaksanaan pemanfaatan hutan secara lestari, Departemen Kehutanan telah melakukan penilaian/pengkajian secara holistik terhadap perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan alam (d/h HPH), terutama dalam kemampuan perusahaan dan kelayakan sumber daya hutan itu sendiri untuk dikelola sacara lestari.

Untuk transparansi dan independensi proses penilaian, pengkajian kemampuan perusahaan dalam pengelolaan hutan alam secara lestari dan kelayakan sumber daya hutan untuk dikelola secara lestari telah dilaksanakan oleh Lembaga Penilai Independen (LPI), yang diakui oleh Departemen Kehutanan.

Kebijaksanaan tersebut di atas merupakan komitmen Departemen Kehutanan dalam mencapai pengelolaan hutan secara lestari, dengan mewujudkan kelestarian fungsi hutan, fungsi lingkungan, fungsi ekonomi dan social masyarakat sekitar hutan.  Departemen Kehutanan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas peran aktif daerah dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari.

C. Proses terjadinya hasil hutan illegal.

1)   Perizinan

Pelaksanaan otonomi daerah  telah mendorong setiap daerah untuk mendapatkan sumber pembiayaan pembangunan daerahnya sendiri.  Salah satu sumber daya yang secara liquid tersedia adalah sumber daya hutan, hal ini mendorong eksploitasi hutan secara besar-besaran  melalui pemberian perizinan oleh pejabat daerah, sehingga sering  perizinan yang diterbitkan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Bahkan untuk kasus-kasus tertentu sengaja membenturkan atau menguji suatu peraturan perundangan dengan peraturan perundangan yang lain dengan harapan mendapat legitimasi terhadap kegiatan kebijaksanaan daerah .

Hal tersebut di atas dapat mendorong terjadinya ketidak pastian hukum dalam pengelolaan hutan.  Kondisi tersebut dengan mudah dimanfaatkan oleh para pemodal/cukong untuk mendapatkan keuntungan tanpa menghiraukan kelestarian hutan.

2)   Pelaku penebangan liar.

Penebangan liar (Illegal logging) bukan saja dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki izin penebangan seperti masyarakat, perorangan atau badan hukum, tetapi juga dilakukan oleh pihak pemegang izin penebangan yang sah, antara lain seperti HPH/IUPHHK, HPHH/IHPHH, IPK, hal ini dapat dilihat dengan sering terjadinya pengenaan sanksi eksploitasi, antara lain penebangan di luar blok, penebangan sebelum RKT disahkan atau menebang melebihi target serta adanya penyelundupan kayu gelondongan ke Luar Negeri.

3)   Lokasi.

Hasil hutan illegal merupakan hasil kegiatan penebangan dari kegiatan perambahan hutan atau penebangan liar baik yang dilakukan oleh masyarakat, perorangan, badan hukum maupun pemegang izin di kawasan hutan konversi, hutan lindung atau hutan produksi.

4)   Peredaran dan konsumen hasil hutan illegal.

Hasil hutan illegal hasil penebangan liar atau perambahan areal sebagian besar dijual ke konsumen  yang lokasinya jauh dari lokasi penebangan.  konsumen terbesar dari kayu illegal adalah industri pengolahan kayu.

Dalam peredarannya, kayu biasanya tidak langsung ke konsumen, tetapi melalui broker (pihak ke tiga) yang merupakan cukong illegal.  Karena kelihaian pihak cukong atau broker tersebut dalam peredaran dengan memanfaatkan kelemahan pihak aparat di lapangan, kayu yang tadinya illegal sesampainya ke konsumen bisa menjadi legal.

Penertiban Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH), dan pelaksanaaanya di atur dalam SK. Menteri Kehutanan No. 126/Kpts-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan.

Illegal logging sebagian besar melanggar ketentuan  PUHH disamping pelanggaran perijinan. Sesuai UU No. 41 Tahun 2000 Pasal 50 (3) huruf h, j dan k. menyatakan bahwa Setiap orang dilarang :

h. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan

j.  Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang

k. membawa ala-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

Ketentuan Pidana yang menyangkut Pasal 50, terdapat dalam pasal 78 diantaranya adalah pada pasal 78 (7) menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 10 milyar.

     Sebagai gambaran lebih lanjut, Penata Usahaan Hasil Hutan yang diatur dalam SK. Menteri Kehutanan No. 126/Kpts-II/2003, disajikan dalam Lampiran 1.

III. Identifikasi Masalah /Kendala yang dihadapi.

  1. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya illegal loging antara lain :

–          Aspek legal/Hukum yang berhubungan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yaitu adanya tumpang tindih UU, PP, Kepmen dll.

–          Aspek ketidak seimbangan antara supply dan demand, dalam hal ini digambarkan dengan jumlah produksi hasil hutan yang berasal dari hutan alam untuk tahun 2004 adalah sebesar 13.348.938 m3, sedangkan kapasitas industri primer hasil hutan kayu adalah sebesar 37.541.705 m3.  oleh karena itu terjadi kekurangan produksi kayu bulat .  Untuk memenuhi kekurangan kayu bulat dimaksud,  didapat dari ILS (Izin lainnya yang Sah).

–          Aspek Sosial ekonomi terutama dengan lapangan kerja.

–          Aspek politik yang berhubungan dengan adanya euporia reformasi yang kebablasan

–          Aspek penegakan hukum

  1. Kapasitas SDM & Fasilitasnya.

Penanggulangan penebangan liar (illegal logging) dan peredaran hasil hutan illegal (Illegal trade) melibatkan berbagai unsur terkait dengan pemberantasan penebangan liar, baik dari pihak intern instansi kehutanan maupun dari pemerintah lainnya yang terkait.

Dalam beberapa hal, upaya penanggulangan penebangan liar dan penanganan kasus yang berkaitan dengan penebangan liar, masih belum optimal, hal ini terkendala  antara lain :

–          Institusi struktural belum menjalankan fungsinya secara optimal, antara lain sarana & prasarananya kurang memadai.

–          Petugas di lapangan belum melaksanakan tugas dengan tertib.

IV. Upaya Penanggulangan dan Penertiban.

Usaha pemerintah Indonesia dalam menanggulangi illegal logging dan telah dilaksanakan meliputi beberapa cara, mulai dari melakukan pembinaan, pengendalian/pengawasan yang bersifat preventif sampai melakukan penangkapan yang bersifat represif.

Dalam usaha melakukan penertiban illegal logging tersebut, Departemen Kehutanan telah melakukan koordinasi dengan beberapa instansi terkait antara lain dengan POLRI, TNI-AL, Departemen Perhubungan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan serta Bea & Cukai.

Koordinasi yang telah dilakukan dengan instansi terkait tersebut, dilaksanakan dalam bentuk :

–          Kerjasama operasi di lapangan dengan POLRI dan TNI-AL dalam operasi Wanalaga dan Operasi Wanabhakti.

–          Kerjasama dengan Menteri Perhubungan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan dalam pengaturan di bidang pengangkutan kayu melalui pelabuhan.

–          Operasi Hutan Lestari I, Operasi Hutan Lestari II dan Operasi Matoa telah menimbulkan dampak baik secara hukum, politik, keamanan dan social budaya.

–          Melakukan kerjasama dengan Negara Konsumen, antara lain dengan Negara Inggris, Republik Rakyat China dan Jepang.

Selain kegiatan tersebut di atas, upaya-upaya pemerintah dalam penertiban illegal logging antara lain :

–          Membangun komitmen bersama yang dilaksanakan disemua tingkatan dari Pusat sampai Daerah/pelaksana .

–          Presiden Republik Indonesia telah melakukan pencanangan “ Gerakan Nasional Anti Illegal Logging dan Peredaran Hasil Hutan Illegal “

–          Melakukan penindakan dengan menerapkan hukum yang maksimal kepada semua pihak

–          Memberdayakan aparat kehutanan mulai dari tingkat Pusat sampai tingkat pelaksana di lapangan

–          Memperkuat Aparat Ujung tombak melalui peningkatan kesejahteraan, kemampuan, kelengkapan dan fasilitas tugas yang memadai

–          Evaluasi terhadap kebijakan yang telah diambil.

 

V. Rencana Strategis dan Taktis ke Depan.

Beberapa hal yang dapat mendukung keberhasilan pemberantasan illegal logging, antara lain :

  1. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan sehingga terwujud kemandirian masyarakat sekitar hutan.
  2. Penyempurnaan regulasi perizinan dan PUHH dalam rangka pengawasan terhadap illegal logging antara lain Pembangunan Sistem PUHH on line.
  3. Merumuskan regulasi dalam implementasi 5 prioritas kebijaksanaan :

1). Penertiban Peredaran Hasil Hutan

2). Pengelolaan hutan alam produksi lesatri.

3). Pengelolaan hutan tanaman.

4). Optimalisasi PNBP kehutanan.

5). Restrukturisasi industri kehutanan.


PENGGELAPAN

Definisi Penggelapan

Bab XXIV (buku II) KUHP mengatur tentang penggelapan (verduistering),terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Di samping penggelapan sebagaimana diatur dalam Bab XXIV, ada rumusan tindak pidana lainnya yang masih mengenai penggelapan, yaitu pasal 415 dan 417, tindak pidana mana sesungguhnya merupakan kejahat a n jabatan, yang kini ditarik ke dalam tindak pidana korupsi oleh UU no. 31 Th. 1999 dan UU no. 20 Th, 2001, oleh karenanya tidak dimuat dalam Bab XXIV, melainkan dalam bab tentang kejahatan jabatan (Bab XXVIII).

::. Penggelapan dalam Bentuk Pokok

Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam pasal 372 y ang dirumuskan sebagai berikut:

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 900,00.

Rumusan itu disebut/diberi kualifikasi penggelapan. Rumusan di atas tidak memberi arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan verduistering yang ke dalam bahasa kita diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi masyarakat Belanda diberikan arti secara luas (figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang atau gelap.

Pada contoh seseorang dititipi sebuah sepeda oleh temannya, karena memerlukan uang, sepeda itu dijualnya. Tampaknya sebenarnya penjual ini menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan temannya itu dan tidak berarti sepeda itu dibikinnya menjadi gelap atau tidak terang. Lebih mendekati pengertian bahwa petindak tersebut menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda, hak mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai atau memegang sepeda itu.

Dari rumusan penggelapan sebagaimana tersebut di atas, jika dirinci terdiri dari unsur-unsur objektif meliputi perbuatan memiliki (zicht toe.igenen), sesuatu benda (eenig goed) , yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja (opzettelijk), dan penggelapan melawan hukum (wederrechtelijk).

> Unsur – Unsur Objektif

  1. Perbuatan memiliki. Zicht toe.igenen diterjemahkan dengan perkataan memiliki, menganggap sebagai milik, atau ada kalanya menguasai secara melawan hak, atau mengaku sebagai milik. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25-2-1958 No. 308 K/Kr/1957 menyatakan bahwa perkataan Zicht toe.igenen dalam bahasa Indonesia belum ada terjemahan resmi sehingga kata-kata itu dapat diterjemahkan dengan perkataan mengambil atau memiliki. Waktu membicarakan tentang pencurian di muka, telah dibicarakan tentang unsur memiliki pada kejahatan itu. Pengertian memiliki pada penggelapan ini ada perbedaannya dengan memiliki pada pencurian. Perbedaan ini, ialah dalam hal memi­ liki pada pencurian adalah berupa unsur subjektif, sebagai maksud untuk memiliki (benda objek kejahatan itu). Tetapi pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan se b agai maksud saja. Tetapi pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja. Tetapi memiliki pada penggelapan, karena merupakan unsur tingkah laku, berupa unsur objektif, maka memiliki itu harus ada bentuk/wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat untuk menjadi selesainya penggelapan. Bentuk-bentuk perbuatan memiliki, misalnya menjual, menukar, menghibahkan, menggadaikan, dan sebagainya. Pada pencurian, adanya unsur maksud untuk memiliki sudah tampak dari adanya perbuatan mengambil, oleh karena sebelum kejahatan itu dilakukan benda tersebut belum ada dalam kekuasaannya. Lain halnya dengan penggelapan. Oleh sebab benda objek kejahatan, sebelum penggelapan terjadi telah berada dalam kekuasaannya, maka menjadi sukar untuk menentukan kapan saat telah terjadinya penggelapan tanpa adanya wujud perbuatan memiliki.
  2. Unsur objek kejahatan (sebuah benda). Dimuka telah dibicarakan bahwa dalam MvT mengenai pembentukan pasal 362 diterangkan bahwa benda yang menjadi objek pencurian adalah benda-benda bergerak dan berwujud, yang dalam perkembangan praktik selanjutnya sebagaimana dalam berbagai putusan pengadilan telah ditafsirkan sedemikian luasnya, sehingga telah menyimpang dari pengertian semula. Seperti gas dan energi listrik juga akhirnya dapat menjadi objek pencurian. Berbeda dengan benda yang menjadi objek penggelapan, tidak dapat ditafsirkan lain dari sebagai benda yang bergerak dan berwujud saja. Perbuatan memiliki terhadap benda yang ada dalam kekuasaannya sebagaimana yang telah diterangkan di atas, tidak mungkin dapat dilakukan pada benda-benda yang tidak berwujud. Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap. Adalah sesuatu yang mustahil terjadi seperti menggelapkan rumah, menggelapkan energi listrik maupun menggelapkan gas. Kalaupun terjadi hanyalah menggelapkan surat rumah (sertifikat tanah ), menggelapkan tabung gas. Kalau terjadi misalnya menjual gas dari dalam tabung yang dikuasainya karena titipan, peristiwa ini bukan penggelapan, tetapi pencurian. Karena orang itu dengan gas tidak berada dalam hubungan menguasai. Hubungan menguasai hanyalah terhadap tabungnya. Hanya terhadap tabungnya ia dapat melakukan segala perbuatan secara langsung tanpa melalui perbuatan lain terlebih dulu. Lain dengan isinya, untuk berbuat terhadap isinya misalnya menjualnya, ia tidak dapat melakukannya secara langsung tanpa melakukan perbuatan lain, yakni membuka kran tabung untuk mengeluarkan/memindahkan gas tersebut.
  3. Sebagian atau seluruhnya miik orang lain. Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun telah dilepaskan hak miliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Benda milik suatu badan hukum, seperti milik negara adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki oleh orang, adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti bukan milik petindak, dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan maupun pencurian. Orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau orang tertentu, melainkan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri. Arrest HR tanggal 1 Mei 1922 dengan tegas menyatakan bahwa untuk menghukum karena penggelapan tidak disyaratkan bahwa menurut hukum terbukti siapa pemilik barang itu. Sudah cukup terbukti penggelapan bila seseorang menemukan sebuah arloji di kamar mandi di stasiun kereta api, diambilnya kemudian timbul niatnya untuk menjualnya, lalu dijualnya.
  4. Benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Di sini ada 2 unsur, yang pertama berada dalam kekuasaannya, dan kedua bukan karena kejahatan. Perihal unsur berada dalam kekuasaannya telah disinggung di atas. Suatu benda berada dalam kekuasaan seseorang apabila antara orang itu dengan benda terdapat hubungan sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan yang lain. Misalnya ia langsung dapat melakukan perbuatan : menjualnya, menghibahkannya, menukarkannya, dan lain sebagainya, tanpa ia harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu (perbuatan yang terakhir mana merupakan perbuatan antara agar ia dapat berbuat secara langsung).

KUHP dalam Buku II tentang Kejahatan terhadap Harta Kekayaan, diatur tentang penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda yang dimilikinya. Secara umum, unsur-unsur tindak pidana terhadap harta kekayaan ini adalah mencakup unsur obyektif dan unsur subyektif.

Adapun unsur obyektif yang dimaksud adalah berupa hal-hal sebagai berikut :

1) Unsur perbuatan materiel, seperti perbuatan mengambil (dalam kasus pencurian), memaksa (dalam kasus pemerasan), memiliki / mengklaim (dalam kasus penggelapan, menggerakkan hati / pikiran orang lain (dalam kasus penipuan) dan sebagainya;

2) Unsur benda / barang;

3) Unsur keadaan yang menyertai terhadap obyek benda yakni harus merupakan milik orang lain;

4) Unsur upaya-upaya tertentu yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang dilarang;

5) Unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya perbuatan yang dilarang.

Sedangkan unsur subyektifnya adalah terdiri atas :

l) Unsur kesalahan yang dirumuskan dengan kata-kata seperti “dengan maksud”, “dengan sengaja”, “yang diketahuinya / patut diduga olehnya” dan sebagainya; dan

2) Unsur melawan hukum baik yang ditegaskan eksplisit / tertulis dalam perumusan pasal maupun tidak.

Mengenai Delik Penipuan, KUHP mengaturnya secara luas dan terperinci dalam Buku II Bab XXV dari Pasal 378 s/d Pasal 395 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus penipuan (tindak pidana pokoknya) terdapat dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling larna 4 (empat) tahun” .

Berdasar bunyi Pasal 378 KUHP diatas, maka secara yuridis delik penipuan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa : 

1. Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan pelaku untuk menipu orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang dengan kata-kata : “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau arang lain secara melawan hukum”; dan 

 

2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas : (a) Unsur barang siapa; (b) Unsur menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang; dan (c) Unsur cara menggerakkan orang lain yakni dengan memakai nama palsu / martabat atau sifat palsu / tipu muslihat / rangkaian kebohongan.

Dengan demikian untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku kejahatan penipuan, Majelis Hakim Pengadilan di sidang Pengadilan harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penipuan baik unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Hal ini berarti, dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, karena pengertian kesengajaan pelaku penipuan (opzet) secara teori adalah mencakup makna willen en witens (menghendaki dan atau mengetahui), maka harus dapat dibuktikan bahwa terdakwa memang benar telah :

a. bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum

b. “menghendaki” atau setidaknya “’mengetahui / menyadari” bahwa perbuatannya sejak semula memang ditujukan untuk menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang kepadanya (pelaku delik).

c. “mengetahui / menyadari” bahwa yang ia pergunakan untuk menggerakkan orang lain, sehingga menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang kepadanya itu adalah dengan memakai nama palsu, martabat palsu atau sifat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.

Unsur delik subyektif di atas, dalam praktek peradilan sesungguhnya tidak mudah untuk ditemukan fakta hukumnya. Terlebih lagi jika antara “pelaku” dengan “korban”penipuan semula memang meletakkan dasar tindakan hukumnya pada koridor suatu perjanjian murni. Oleh karena itu, tidak bisa secara sederhana dinyatakan bahwa seseorang telah memenuhi unsur subyektif delik penipuan ini hanya karena ia telah menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada seseorang kemudian orang tersebut tergerak ingin menyertakan modal dalam usaha bisnis tersebut. Karena pengadilan tetap harus membuktikan bahwa ketika orang tersebut menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada orang lain tadi, harus ditemukan fakta hukum pula bahwa ia sejak semula memang bermaksud agar orang yang diberi informasi tadi tergerak menyerahkan benda / hartanya dan seterusnya, informasi bisnis tersebut adalah palsu / bohong dan ia dengan semua itu memang bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Di samping itu, karena sifat / kualifikasi tindak pidana penipuan adalah merupakan delik formil – materiel, maka secara yuridis teoritis juga diperlukan pembuktian bahwa korban penipuan dalam menyerahkan suatu benda dan seterusnya kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar kausaliteit (berhubungan dan disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan dalam pasal 378 KUHP. Dan hal demikian ini tentu tidak sederhana dalam praktek pembuktian di Pengadilan. Oleh karenanya pula realitas suatu kasus wan prestasi pun seharusnya tidak bisa secara simplifistik (sederhana) ditarik dan dikualifikasikan sebagai kejahatan penipuan.

Selanjutnya mengenai Tindak Pidana Penggelapan, KUHP telah mengaturnya dalam Buku II Bab XXIV yang secara keselurahan ada dalam 6 (enam) pasal yaitu dari Pasal 372 s/d Pasal 377 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus dari penggelapan (tindak pidana pokoknya) terdapat pada Pasal 372 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukam memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“

Berdasar bunyi Pasal 372 KUHP diatas, diketahui bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa : 1. Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan petaku untuk menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan 2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas : (a) Unsur barang siapa; (b) Unsur menguasai secara melawan hukum; (c) Unsur suatu benda; ( d) Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan (e) unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.

Jadi untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku penggelapan, Majelis Hakim Pengadilan pun harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan, apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penggelapan baik berupa unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, kesengajaan pelaku penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah benar (berdasar fakta hukum) terdakwa memang :

a. “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum

b. “mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai itu adalah sebuah benda

c. “mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain

d. “mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.

Sedangkan terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan, menurut perspektif doktin hukum pidana ada beberapa hal yang harus dipahami juga sebagai berikut :

1. Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda yang milik orang lain tersebut secara melawan hukum. Unsur melawan hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal yang harus melekat adap ada perbuatan menguasai benda milik orang lain tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan. Menurut van Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan hukum dalam hal ini cukup dan bisa diartikan sebagai “bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat”.

2. Cakupan makna “suatu benda” milik orang lain yang dikuasai pelaku penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek cenderung terbatas pada pengertian benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan atau biasa disebut dengan istilah “benda bergerak”.

3. Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan, sebagian atau seluruhnya merupakan milik orang lain, adalah mengandung arti (menurut berbagai Arrest Hoge Raad) bahwa harus ada hubungan langsung yang bersifat nyata antara pelaku dengan benda yang dikuasainya.

Berdasarkan paparan singkat mengenai apakah hakekat perbuatan wan prestasi, penipuan, dan pengelapan tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa meskipun batas antara ketiganya dalam realitas kasus seringkali memang tipis, namun tetap dapat dibedakan berdasar doktrin-doktrin hukum terkait. Sehingga suatu kasus wan prestasi sebagaimana telah diilustasikan pada pendahuluan, yang hakekatnya merupakan masalah murni keperdataan (kontraktual indivual), semestinya tetap harus dipandang dan diletakkan secara proporsional dan tidak ditarik secara sederhana apalagi dengan “pemaksaan rekayasa” sebagai kasus kejahatan penipuan ataupun penggelapan, terlebih lagi jika hal itu dilakukan dengan maksud atau tujuan-tujuan tertentu. Disini etika berperkara atau mendampingi perkara seorang klien yang berbasis filosofi pengungkapan dan pembelaan yang benar (bukan sekedar yang bayar), menjadi hal yang signifikan untuk direnungkan dan lebih penting lagi ialah dipraktekkan.

Wan Prestasi

Dalam perspektif hukum perdata, masalah wan prestasi bisa diidentifikasi kemunculan atau terjadinya melalui beberapa parameter sebagai berikut :

1.       Dilihat dari Segi Sumber Terjadinya Wan Prestasi

Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah melakukan wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara dua pihak atau lebih sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 BW / KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa: “Supaya terjadi persetujuan yang sah dan mengikat, perlu dipenuhi empat syarat yaitu : adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirirrya; adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan; adanya suatu pokok persoalan tertentu yang disetujui; suatu sebab yang tidak terlarang.”

Secara umum, wan prestasi biasanya terjadi karena debitur (orang yang dibebani kewajiban untuk mengerjakan sesuatu sesuai perjanjian) tidak memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati, yaitu :

a. tidak memenuhi prestasi sama sekali; atau

b. tidaktepat waktu dalam memenuhi prestasi; atau

c. tidak layak dalan pemenuhan prestasi sebagaimana yang dijanjikan.

 2.       Dilihat dari Segi Timbulnya Hak Menuntut Ganti Rugi

Penuntutan ganti rugi pada wan prestasi diperlukan terlebih dahulu adanya suatu proses, seperti pernyataan lalai dari kreditor (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini penting karena Pasal 1243 BW / KUHPerdata telah menggariskan bahwa “perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kecuali jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan bahwa debitur langsung dapat dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan. Ketentuan demikian juga diperkuat oleh salah satu Yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan “apabila perjanjian secara tegas telah menentukan tentang kapan pemenuhan perjanjian maka menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban (baca: wan prestasi) sebelum hal itu secara tertulis oleh pihak kreditur “.

 3.       Dilihat dari Segi Tuntutan Ganti Rugi

Mengenai perhitungan tentang besaranya ganti rugi dalam kasus wan prestasi secara yuridis adalah dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1237B W / KUHPerdata yang menegaskan bahwa : “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu meniadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilahirkan, menjadi tanggungannya”. Selanjutnya ketentuan Pasal 1246 BW / KUHPerdata menyatakan, “biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”.

Berdasarkan pasal 1246 BW / KUHPerdata tersebut, dalam wan prestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst). Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wan prestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas. Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan masalah tuntutan ganti rugi pada kasus perbuatan melawan hukum. Dalam kasus demikian, tuntutan ganti rugi harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1265 BW / KUHPerdata, yakni tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya dan tidak perlu perincian. Jadi tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand)herstel in de vorige toestand). Namun demikian, meski tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi dalam kasus akibat perbuatan melawan hukum ini, seperti terlihat pada Putusan tertanggal 7 Oktobet 1976 yang menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak.” Demikian pula Putusan Mahkamah Agung tertanggal 13 April 1978, yang menegaskan bahwa “soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.


DISKRESI KEPOLISIAN

  

Diskresi  Kepolisian pada dasarnya merupakan kewenangan Kepolisian yang bersumber pada asas Kewajiban umum Kepolisian ( Plichtmatigheids beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri , dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

Diskresi Kepolisian di Indonesia secara yuridis diatur pada pasal 18 UU No 2 2002 yaitu “ Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri “  , hal tersebut mengandung maksud bahwa seorang anggota Polri yang melaksanakan tugasnnya di tengah tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusaan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum.

Diskresi Polisi dapat pula diartikan sebagai wewenang Pejabat Polisi untuk memilih bertindak atau tidak bertindak secara legal atau ilegal dalam menjalankan tugasnya (Davies 1969). Diskresi membolehkan seorang Polisi untuk memilih diantara berbagai peran (memelihara ketertiban, menegakkan hukum atau melindungi masyarakat) taktik (menegakkan Undang-Undang Lalu Lintas dengan berpatroli atau berjaga pada suatu tempat) ataupun tujuan (menilang pelanggar atau menasehatinya) dalam pelaksanaan tugasnya.

Seorang pejabat Polisi dapat menerapkan diskresi dalam berbagai kejadian yang dihadapinya sehari-hari tetapi berbagai literatur tentang diskresi lebih difokuskan ­kepada penindakan selektif (Selective Enforcement) yaitu berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi apakah seorang pelanggar hukum akan ditindak atau tidak. Diskresi pada umumnya dikaitkan kepada dua konsep yaitu penindakan selektif dan patroli terarah (Directed Patrol).

Penindakan selektif adalah suatu bentuk diskresi administrasi dimana pembuat kebijakan atau pemimpin menentukan prioritas bagi berbagai unit satuan bawahannya. Sebagai contoh adanya kebijakan untuk menindak para pengedar narkoba dan membiarkan para penggunanya, membiarkan prostitusi ditempat­-tempat tertentu dan menindak para pelacur jalanan. Patroli terarah adalah contoh diskresi supervisor dimana supervisor memerintahkan anggota-anggotanya untuk mengawasi secara ketat suatu wilayah tertentu atau suatu kegiatan tertentu. Sebagai contoh karena adanya laporan masyarakat seorang Inspektur Polisi memerintahkan petugas patroli untuk membubarkan kerumunan pemuda yang menganggu ketertiban yang biasanya dibiarkan. Contoh lain adalah perintah untuk menilang kendaraan-kendaraan yang parkir pada tempat tertentu dengan aiasan menganggu kelancaran lalu lintas.

Penggunaan wewenang diskresi oleh Polisi baru akhir-akhir ini diakui sebagai suatu yang wajar dari kewenangan Polisi. Sebelumnya pimpinan Polisi dan masyarakat beranggapan bahwa Polisi harus menindak setiap pelanggar ketentuan hukum dan membiarkan atau tidak melaksanakan ketentuan tersebut merupakan pelanggaran hukum oleh Polisi. Sebagian kecil anggota DPR, Jaksa dan Hakim masih memegang anggapan yang demikian. Para pimpinan Polisi masih ragu-ragu untuk mengakui bahwa Pejabat Polisi selalu menggunakan diskresi dalam menegakkan hukum dan bahwa mereka secara diam-diam menetapkan kebijaksanaan untuk tidak melaksanakan penindakan secara penuh terhadap kejahatan-kejahatan kecil ataupun pelanggaran terhadap peraturan daerah.

Mereka khawatir masyarakat akan protes bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil atau timbulnya tuntutan ganti rugi da!am hal terjadinya kecelakaan sebagai akibat dibiarkannya pelanggaran lalu lintas.

Williams (1984), H. Goldstein (1977) clan Davis (1969, 1975) menyatakan tentang tidak tepatnya pendapat bahwa Undang-Undang bermaksud agar setiap ketentuan hukum harus ditegakkan pada semua situasi. Davis menyatakan tentang keputusan para pembuat hukum baik tingkat Negara Bagian maupun Federal juga mensyahkan preseden teritang keputusan penindakan selektif oleh pimpinan kepolisian. Sedangkan Williams dan Goldstein menyatakan tentang sejarah pembentukan Undang-Undang, kasus-kasus hukum tertentu dan keterbatasan Pejabat Polisi merupakan bukti bahwa para pembuat tidak mewajibkan Polisi untuk menegakkan setiap Undang-Undang secara penuh. Keputusan anggota untuk tidak menindak pelanggar hukum pada situasi tertentu tidak dapat dikritik atas dasar bahwa perbuatan tersebut adalah pelanggaran hukum. Sebaliknya penggunaan diskresi secara tidak benar dapat dikritik dengan alasan lain.

Oleh karena itu dalam Ilmu Hukum Kepolisian dikenal beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang anngota kepolisian akan melakukan diskresi yaitu :

  1. Tindakan harus benar benar diperlukan (noodzakelijk notwendig) atau asas Keperluan.
  2. Tindakan yang diambil harus benar benar untuk kepentingan tugas kepolisian (zakelijk, sachlich).
  3. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai saaran yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhawaturkan.

      Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan (zweckmassig, doelmatig).

  1. Azas Keseimbangan (everendig)

      Dalam mengambil tindakan ,harus senantiasa dijaga keseimbangan antara sifat (keras lunaknnya)tindakan atau sarana yang digunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.

 

Pengaruh Diskresi Terhadap Hukum

 

            Dengan diterapkannya Diskresi Kepolisian mangakibatkan implikasi terhadap operasionalisi hukum , yaitu dengan dilaksanakkannya Diskresi Kepolisian maka hukum yang ada dan berlaku dikonfrontasikan dengan realita kehidupan masyarakat.disini kemangkusan dan kesangkilan hukum dalam mengatasi permasalahan hidup dan kehidupan masyarakat dipertimbangkan. Bila menurut pertimbangan obyektif memprediksikan bahwa ketentuan hukum itu merupakan solusi pemecahan permasalahan yang paling tepat dari semua alternatif emecahan yang ada, maka ketentuan hukum itulah yang akan diterapkan. Sebaliknya bila ketentuan hukum itu tidak akan menguntungkan, terlebih lebih lagi bila justeru akan menimbulkan situasi dan kondisi yang lebih buruk dari sebelumnya, maka ketentuan hukum itu tidak akan diterapkan alias dikesampingkan atau dipinggirkan. Sebagai contoh ketentuan lalu lintas tentang garis as jalan yang tidak terputus putus, yang terpaksa harus dilanggar oleh pengguna jalan karena adannya hambatan truk mogok didepannya. Ketentuan lalu lintas ini pada situasi dan kondisi yang demikian tidak dapat diterapkan, sebab bila diterapkan justeru akan menimbulkan situasi dan kondisi lalu lintas yang semakin buruk yang selanjutnya akan berkembang menjadi terganggunya stabilitas keamanan dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam hal penyampingan dan peminggiran hukum ini, maka diskresi kepolisian barakses negatif terhadap penegakkan hukum. Ini sebetulnya merupakan tindakan pelecehan terhadap hukum . Wibawa hukum disini diinjak injak . Namun seperti dijelaskan diatas bahwa hukum itu tuidak sepenuhnya memadai dan tidak selalu dapat memecahkan permasalahan masyarakat secara sempurna.Hukum itu selain memiliki keunggulan keunggulan komparatif juga mempunyai kelemahan kelemahan secra mendasar yang tidak dapat diabaikan , yang oleh karena itu selamanya dapat diandalkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi mesyarakat.

Meskipun demikian tidaklah lalu berarti setiap hukum dapat dikesampingkan atau dipinggirkan oleh diskresi Kepoilisian .Tidak semua ketentuan hukum dapat disampingkan atau dipinggirkan oleh Diskresi Kepolisian. Hanya sebagian kecil saja yang dapat disingkirkan atau dikesampingkan, itupun menyangkut perkara perkara yang kecil kecil dan sederhana saja . Perkara perkara yang besar , terutama yang yang berdampak luas terhadap masyarakat tidak dapat disingkirkan oleh Diskresi kepolisian . Kalaupun itu dilakukan sifatnya hanya sementara menunggu situasi memungkinkan , setelah situasinya memungkinkan , maka pelanggaran hukum yang terjadi akan diproses lebih lanjut sesuai ketentuan hukum yang berlaku .

Penyampingan atau peminggiran hukum diatas merupakan salah satu bentuk aplikasi daripada diskresi kepolisian . Bukan hanya itu saja wujud dari diskresi kepolisian yang ada . Diskresi Kepolisian itu dapat juga berwujud dari penerapan hukum itu sendiri (Applicating  the Law ) . Bahkan dapat berupa penciptaan hukum ( Creating the law ) meskipun lingkupnya terbatas dan sifatnnya temporer.Contohnya terhadap pelaku kumpul kebo / semen leven , Walaupun hal tersebut tidak diatur dalam Undang Undang namun sangat dicela oleh masyarakat oleh karena itu polisi dapat meminta kepada pelaku semen leven itu untuk segera menikah  atupun memerintahkan  kedua pelaku untuk pergi dari wilayah tersebut agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan sebagai kompensasi dari kekecewaan dalam masyarakat.

Selain itu , Diskresi Kepolisian itu dapat pula berwujud pengembangan hukum ( Developing the law) dan perekayasaan sosial (Social Engineering ). Karena itulah maka polisi oleh beberapa ahli atau pakar disebut hukum yang hidup, sebab oleh polisi , hukum yang mati dan kaku itu menjadi hidup dan luwes.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Diskresi

Para peneliti telah mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan diskresi. Misalnya dalam melakukan penahanan (suatu aspek penting yang sering diteliti) Black (1980) La Fave (1965), dan Reiss (1971) mencatat bahwa keturunan, umur, jenis kelamin tersangka sangat mempengaruhi keputusan untuk menahan atau membebaskan. Penelitian-penelitian lain memperlihatkan bahwa situasi dan faktor-faktor interactive memainkan peranan besar dalam keputusan Polisi.

Sebagai contoh antara lain kehadiran korban dan kesediaan korban melapor/menuntut, adanya hubungan antara pelaku dan korban sebelum kejadian; apakah korban merupakan pihak yang memprovakasi kejadian tersebut; adanya saksi; apakah kejadian tersebut merupakan hal yang sering terjadi sebelumnya antara kedua pihak; bagaimana sikap pelaku terhadap Polisi; menghargai atau melecehkan.

Suatu studi tentang pelanggaran ketentuan mengemudi sambil mabok (drunk­driving statutes) Meyers (1987) menemukan bahwa kurang lebih sepertiga anggota/Pejabat Polisi di Amerika setidaknya sekali dalam setahun memilih tidak menyetop kendaraan yang patut diduga dikemudikan seorang yang sedang mabuk. Kira-kira seperempat dari Pejabat Polisi tersebut tidak melakukan penahanan walaupun setelah kendaraan distop, diketahui pengemudinya dalam keadaan mabuk.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan diskresi tersebut menurut Maine adalah : !amanya masa dinas anggota, jabatan/pangkat anggota, pandangan anggota tentang kasus tersebut dibandingkan kasus lainnya dan tingkat frustrasi anggota tentang tidak efektifnya sistim peradilan pidana. Dengan demikian bentuk pelanggaran dan keadaan sipelanggar ikut menentukan keputusan Polisi untuk menggunakan diskresi.

Berbagai masalah dalam penggunaan Diskresi

J. Goldstein (1960) mencatat bahwa diskresi yang dilakukan Pejabat Polisi merupakan keputusan-keputusan yang hampir tidak kelihatan. Ini disebabkan adanya diskresi Pejabat Polisi kebanyakan tidak dipahami dan dihargai oleh masyarakat karena tidak diakui oleh para pimpinan clan pejabat-pejabat negara. Penggunaan diskresi oleh anggota juga jarang sekali diamati secara teliti oleh masyarakat, anggota DPR, Pengadilan, clan para pimpinan Kepolisian termasuk para penrvira lapangan. Anggota patroli dan reserse bekerja sendiri atau bersama mitra yang saling mendukung. Seringnya terjadi situasi dimana korban dan pelapor tidak mau memperpanjang urusannya dengan Polisi. Adanya situasi dimana

Pejabat Polisi tidak melakukan penahanan dan tidak membuat laporan atas kejadian tersebut — yang merupakan hal yang sering -terjadi. Situasi diatas menyebabkan penggunaan diskresi tidak dapat dievaluasi. Hal ini berakibat bahwa penggunaan diskresi berpotensi menimbulkan masalah.

“Inkonsistensi”, adalah salah satu masalah yang terkait dengan diskresi. Diskresi membolehkan anggota untuk menerapkan perbedaan dalam men angani suatu peristiwa. Kritik terhadap hal ini adalah kemungkinan terjadinya diskriminasi yaitu dalam situasi yang sama pelanggar diperlakukan berbeda; karena warna kulit atau kedudukannya. Contoh lain adalah perlakuan terhadap wanita yang biasanya lebih lunak daripada terhadap laki-laki.

“Unpredictability” juga merupakan masalah yang dikaitkan dengan diskresi. Variasi penerapan hukum oleh Polisi dapat membingungkan masyarakat, sebagai contoh suatu jalan raya dengan batas.Jcecepatan 55 milefjam dimana pengguna biasa melaju sampai 65 mileAjam tanpa gangguan Polisi sepanjang tidak melampaui 68 milefjam. Pada saat petugas yang biasa bertugas cuti dan diganti anggota lain, timbul masalah karena pada kecepatan 63 milelam para pengguna jalan ditindak oleh anggota pengganti tersebut. Secara resmi mereka ditindak karena pelanggaran Undang-Undang La.u Lintas namun sebenarnya mereka ditindak karena perbedaan standar pribadi antara kedua petugas Polisi.

Diskriminasi dan inkonsistensi dalam penggunaan diskriminasi dikritik atas dasar ketidak adilan. Prinsip kesamaan di depan hukum menyatakan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama bila mereka melakukan perbuatan yang relatif sama. Cohen (1985) menyatakan bahwa keadilan dapat mempunyai arti yang lain yaitu “Just Deserts”. Prinsip Just Deserts menyatakan bahwa untuk diperlakukan adil seseorang harus menerima perlakuan yang wajar/seharusnya bagi mereka, tanpa melihat apakah perlakuan tersebut sama dengan yang lain. Pejabat Polisi dapat menerapkan hal ini secara berbeda kepada orang-orang dalam kasus-kasus tertentu. Menurut Cohen “The problem of discretion is the problem of good judgment”.

Sebagai contoh seorang yang melanggar batas kecepatan karena mangantar orang yang terluka ke RS seharusnya tidak perlu ditindak sedangkan orang lain yang melakukan hal yang sama ditempat yang sama tanpa alasan yang tepat tidak seharusnya dibebaskan dari penindakan. Hal ini yang harus dipahami Pejabat Polisi bilamana seseorang harus ditindak atau tidak ditindak.

“Lack of Accountability” juga merupakan problem dalam penggunaan diskresi. Sebagian anggota beranggapan bahwa diskresi yang mereka punyai adalah tanpa batas. Para pimpinan sangat kawatir bahwa perilaku anggota tidak dapat dikendalikan bila tidak diawasi langsung bahkan kemungkinan menggunakan tindakan-tindakan ilegal dalam bertugas.

Brown (1981) mengamati bagaimana petugas-petugas lapangan/bawahan dalam beberapa hal mempunyai otonomi yang lebih besar dalam pengambilan keputusan daripada para perwira dan pimpinan.

Otonomi petugas lapangan dipengaruhi berbagai faktor, sebagian besar tugas-­tugas bawahan tidak dapat direncanakan dengan teliti karena sifatnya yang selalu mendadak, seperti mendatangi TKP dan melayani situasi darurat lainnya. Para supervisor jarang dapat melakukan pengawasan langsung atas pelaksanaan tugas patroli tersebut.

Para, reserse dengan pakaian- preman bahkan lebih tidak terlihat oleh para pimpinannya dan juga oleh masyarakat daripada petugas-petugas berseragam sehingga akuntabilitas penggunaan waktu dan penanganan kegiatan lebih sulit dipantau. Sebagai akibatnya dikawatirkan diskresi digunakan sebagai alasan turunnya kinerja. Dilain pihak diskresi akan digunakan untuk maksud negatif dengan imbalan uang. Dalam hal ini Sherman (1978) mengidentifikasi diskresi yang berlebihan sebagai benih tumbuhnya korupsi.

 

Trend Masa Depan

 

Diskresi kelihatannya akan terus menjadi bahan konflik antara atasan clan bawahan. Tekanan-tekanan agar Polisi menangani berbagai masalah secara adil, adanya tuntutan-tuntutan ganti rugi, keinginan untuk meningkatkan produktivitas clan lainnya menyebabkan para pimpinan terus mengupayakan pengurangan penggunaan diskresi. Diskresi merupakan hal yang membingungkan, clan menarik dalam pelaksanaan tugas Polisi. Penggunaan diskresi secara bijaksana merupakan hal, yang menantang secara etik, penggunaannya secara baik akan membolehkan seorang Polisi untuk menindak orang yang dianggapnya perlu ditindak clan melepaskan orang yang dianggapnya tidak perlu ditindak. Dengan menggunakannya anggota dapat mengekspresikan otonominya dalam menghadapi tugas-tugasnya.

Diskresi juga dapat merupakan alasan yang tepat bagi seorang anggota untuk menyembunyikan ketidaktahuannya tentang peraturan perundang-undangan. Para pakar yang mendukung agar Polisi hanya menerima Tamatan Sekolah Tinggi/Sarjana menganggap bahwa latar belakang pendidikan ini akan membuat seorang anggota mempunyai penilaian yang lebih baik dan bijaksana atas situasi yang dihadapi sehingga dapat menggunakan diskresi secara tepat. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa akal sehat dan pengalaman lebih penting dari latar belakang pendidikan dalam penggunaan diskresi.

Sejak 1960 Pejabat Polisi mendapat tekanan untuk meningkatkan kinerja dan pengetahuan mereka untuk menghadapi berbagai masalah kemasyarakatan. Berbagai rencana reformasi pemolisian pada 1990-an – juga lebih melibatkan penggunaan diskresi oleh anggota-Pejabat Polisi secara lebih luas.

Pendekatan “Problem-Solving” (Goldstein, 1977) dimulai dengan kenyataan bahwa Polisi secara berulang-ufang menghadapi masalah yang sama dalam masyarakat tertentu dimana Polisi tidak berhasil secara tuntas mengatasinya sehingga masalah terus berulang.

Pendekatan “Problem Solving” mengharuskan Pejabat Polisi untuk menerapkan strategi dan taktik untuk mengatasi sumber dari masalah yang terus- berulang itu. Anggota diharapkan untuk menerapkan diskresi yang luas untuk menemukan solusi yang permanen terhadap masalah-masalah yang berulang terutama masalah yang tidak memerlukan penegakan hukum.

“Neighborhood response-policing” yang dikembangkan di Boston dan Houston, mengutamakan masukan dari masyarakat sebagai dasar perencanaan operasi kepolisian. Anggota/Pejabat Polisi dan para pimpinannya bertemu dengan masyarakat secara berkala untuk merumuskan prioritas- Kamtibmas untuk lingkungan tersebut. Dengan cara ini masyarakat ikut membatasi diskresi yang dilakukan Polisi berdasar kesepakatan masyarakat.

Para pimpinan Polisi harus menyeimbangkan upaya mereka dalam penggunaan diskresi dengan harapan masyarakat dalam upaya menegakkan hukum. Hal ini meliputi antara lain perilaku anggota yang diskriminatif terhadap berbagai pelanggaran hukum. Sehingga masalah kronis dapat diatasi tetapi harapan masyarakat akan keadilan dapat terpenuhi.