Archive for 30/03/2013



PERLUNYA KRIMINALISASI TERHADAP KEJAHATAN

 PENYELUNDUPAN MANUSIA DI INDONESIA

Abstraksi:

Pada konteks kejahatan transnasional, penyelundupan manusia mcrupaka suatu bentuk kejahatan transnasional yang terorganisasi yang potensial menimbulkan berbagai macam implikasi pada kejahatan lain. Penyelundupan manusia dapat menjadi takaran lemahnya sistem hukum suatu negara dalam menangani motivasi terselubung dari para imigran untuk menjadikan negara tersebut sebagai negara perantara untuk kejahatan. Penyelundupan manusia di Indonesia belum dikenal sebagai sebuah kejahatan tetapi  lebih dikenal dengan pelanggaran keimigrasian. Dalam penegakan hukumnya dari penyidik kepolisian, penuntut umum sampai dengan hakim, mempunyai ambigu dalam menerapkan aturan pemidanaannya. Karenanya perlu kriminalisasi atas kejahatan penyelundupan manusia ini dalam suatu bentuk aturan perundang-undangan.

Kata kunci: Penyelundupan Manusia, Penegakan Hukum, Kriminalisasi

1.1 Latar Belakang Umum

Dalam arus pergerakan manusia, pada dasamya perpindahan yang dilakukan selalu bertujuan untuk mencari solusi dari segala permasalahan yang mereka temukan ditempat asalnya. Ketika manusia merasa tidak nyaman dengan kehidupannya karena masalah masalah seperti keamanan, ekonomi (tempat tinggal, sandang, pangan), ataupun kondsi politik, ras agama dan ideologi di tempat mereka tinggal sebelumnya, maka naluri untuk  mendapatkan tempat yang lebih baik pun akan muncul. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena sejarah mencatat bahwa perpindahan selalu didasari karena ketidaknyaman di tempat sebelumnya seperti Canaan (yang saat ini disebut sebagai bangsa Palestina melakukan migrasi dari asia menuju ke Eropa, demikian juga yang dilakukan oleh Romawi dan bangsa-bangsa lainnya (Manning dalam Buku Petunjuk bagi Petugas dalam rangka penanganan kegiatan penyelundupan manusia), warga negara Vietnam yang masuk ke Thailand, warga negara Mexico yang masuk ke Amerikadan warga negara China yang masuk ke Indonesia.

Marc Rosenblum dari Universtias California, San Diego, dalam penelitiannya di tahun 2000 mengenai warga Mexico yang masuk ke Amerika sejak tahun 1977 sampai dengan 1999 menyatakan bahwa pada tahun 1996 ditemukan sedikitnya ada 86.000 warga asing ilegal yang masuk ke wilayah Amerika. Yun Hua Liu dalam tulisannya Labour Migration of China juga menyatakan bahwa dari 220.000 warga negara China yang pergi ke luar negeri untuk mencari ilmu, hingga tahun 1995 hanya 75.000 saja yang kembali ke China. Di sisi lain Liu juga menyampaikan bahwa Indonesia menjadi target prioritas warga negara China untuk bertempat tinggal setelah keluar dari China, yang dibuktikan dengan data keberadaan orang China di Indonesia dari tahun 1980 sampai degan 1982 yaitu mencapai 6.150.000 orang.

Dengan data tersebut, terlihat jelas bahwa tidak ada satupun negara yang dapat membatasi keinginan warga negaranya untuk keluar dari negaranya. Hal ini disebabkan karena, mendapatkan hak hidup yang layak merupakan salah satu bagian dari Hak Asasi Manusia, sehingga perbuatan melakukan migrasi dari satu tempat ke tempat yang lain dianggap sebagai sebuah kegiatan yang normal. Di sisi lain, yang perlu diperhatikan dalam pergerakan migrasi ini adalah, bahwa setiap negara mempunyai sebuah kedaulatan bangsa, yaitu sebuah kondisi dimana negara itu merupakan negara merdeka yang mempunyai aturan hukum sendiri dan juga taat pada aturan hukum internasional. Dengan keadaan yang demikian maka ada perlindungan bagi sebuah negara dari serangan pihak luar negaranya, yang salah satu caranya adalah dengan menerapkan aturan mengenai hal-hal yang menyangkut keimigrasian dengan tujuan agar tidak setiap orang dapat keluar masuk sebuah negara tanpa izin. Apabila hal itu dilanggar maka orang akan dikenai sanksi oleh negara yang bersangkutan dengan berbagai tuduhan, seperti pelanggaran keimigrasian, atau kejahatan penyelundupan manusia.

Pada konteks kejahatan transnasional, penyelundupan manusia merupakan salah tsuatu bentuk kejahatan transnasional yang terorganisasi[1]  yang potensial menimbulkan berbagai macam implikasi pada kejahatan lain. Penyelundupan manusia dapat menjadi takaran lemahnya sistem hukum suatu negara dalam menangani motivasi terselubung dari para imigran untuk menjadikan negara tersebut sebagai negara perantara untuk kejahatan. Bentuk kejahatan lain dapat saja muncul sering dengan pembiaran praktek penyelundupan manusia seperti; kejahatan-kejahatan konvensional (penipuan, pemerkosaan, pembunuhan dan pencurian), pelayaran, perdagangan orang, pencucian uang, kejahatan perbankan dan  tidak menutup kemungkinan adanya kejahatan terorisme.

Pada artian yang sebenarnya, penyelundupan manusia merupakan serangkaian kegiatan untuk memasukkan seseorang atau kelompok dari luar negeri ke dalam suatu negara secara tidak sah dan bertentangan dengan hukum. Indonesia adalah suatu negara yang sering digunakan oleh para pelaku penyelundupan manusia untuk masuk  ke Australia. Sekalipun demikian tidak hanya Australia saja yang menjadi tujuan penyelundupan manusia, namun terdapat negara tujuan lain seperti; warga negara Mexico yang  masuk ke Amerika, warga negara China ke Amerika, warga negara  srilangka dan India ke Kanada atau negara-negara di Eropa, warga negara Vietnam ke Indonesia atau ke  Thailand serta Malaysia yang juga merupakan target dari warga negara Indonesia untuk dapat masuk menyelundup dalam rangka mcnjadi tenaga kerja Indonesia (TKI ) . Fenomena penyelundupan manusia ini menjadi penting bagi Indonesia karena letak geografis yang berdekatan dengan Australia dan Malaysia dengan akses keluar masuk  yang luas  schingga tidak terpantau secara keseluruhan serta undang-undang imigrasi  masih lemah, menjadikan Indonesia sebagai negara yang cukup sering dijadikan tempat  transit dan titik tolak pergerakan para pelaku penyelundupan manusia.

Penyelundupan manusia di Indonesia belum dikenal sebagai sebuah kejahatan tetapi lebih dikenal dengan pelanggaran keimigrasian oleh sebagian penegak hukum yang  pernah menangani kejahatan ini, karena penanganan kejahatannya yang menggunakan undang-undang keimigrasian. Di sisi lain penyelundupan manusia juga dikenal sebagai  kejahatan perdagangan orang karena mempunyai modus operandi yang mirip. Dalam  penegakan hukumnya, mulai dari penyidik kepolisian, pcnuntut umum sampi hakim, mempunyai ambigu dalam menerapkan aturan pemidanaannya. Penafsiran  yang tidak benar dan berbeda-beda menjadikan kejahatan penyelundupan manusia sebagai kegiatan yang tidak ada dasar hukumnya atau hanya dilihat sebagai sebuah fakta pelanggaran keimigrasian saja. Yurisprudensi yang dikeluarkan hakim terkait dengan kejahatan yang diproses dengan menggunakan undang-undang keimigrasian membuat kejahatan ini diidentikan sebagai pelanggaran yang ringan dengan resiko rendah dan tidak rnembahayakan. Padahal dengan jelas BB menyatakan dalam konvensi dan protokolnya[2] bahwa penyelundupan migran merupakan salah satu kejahatan transnasiona yang  terorganisir.

Indonesia memang tidak secara langsung menjadi sebuah negara tujuan dari kejahatan penyelundupan manusia yang teijadi. Seperti yang dikemukakan pada awal tulisan, bahwa setiap orang berpindah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, tentunya dengan harapan mereka akan berada pada level negara yang lebih tinggi dari yang sebelumnya. Indonesia bukanlah negara maju yang dapat dijadikan tempat bernaungnya setiap migran yang mau merubah nasibnya. Keberadaannya yang terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) menjadikan Indonesia mempunyai peran dan posisi penting dalam menanggulangi masalah penyelundupan manusia sebagai negara yang selalu dijadikan negara transit.

Terkait dengan keberadaan Indonesia sebagai negara transit, maka setiap orang yang berhasil diselundupkan ke Indonesia, dapat diduga akan menjadikan Australia sebagai negara tujuan, karena letaknya yang sangat dekat dengan Indonesia. Hal ini didukung dengan minimnya pengawasan pemerintah Indonesia terhadap wilayah perbatasan, terutama dari pulau-pulau kccil yang tidak terpantau, untuk masuk ke dalam wilayah Australia, dimana hal ini merupakan suatu keuntungan tersendiri bagi pelaku kejahatan penyelundupan manusia. Di sisi lain, negara ini memiliki kemampuan penjaminan perlindungan dan penghidupan kepada insan negaranya, sehingga hal ini menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada minat migran untuk masuk ke negara Australia dalam rangka mencari penghidupan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya.

Permasalahan teijadi ketika orang-orang yang melakukan perpindahan ini tidak mengindahkan aturan-aturan hukum yang berlaku di negara tempat mereka keluar. Begitu pula halnya terhadap aturan hukum yang berlaku di negara yang dimasukinya. Seperti telah dibahas sebelumnya konsekuensi dari terbentuknya konsep negara dalam kehidupan modern adalah segala proses yang menyangkut hak dan kewajiban manusia menjadi tidak sesederhana sebelum ada negara. Orang tidak bisa berpindah begitu saja tanpa mengikuti prosedur yang sudah diatur sebelumnya oleh masing-masing negara.

Selain masuk ke Indonesia tanpa menggunakan dokumen resmi (tanpa ada visa atau paspor), salah satu modus operandi yang dilakukan oleh pelaku penyelundupan manusia ini adalah masuk ke Indonesia dengan menggunakan dokumen resmi legal dan teregistrasi. Permasalahannya, adalah, setiap warga negara asing yang masuk secara legal, belum tentu akan keluar dari Indonesia secara legal untuk kembali ke negaranya. Hal ini diketahui ketika warga negara asing yang tertangkap oleh pihak negara tujuan, menunjukkan paspornya dengan stampel visa Indonesia (Hasil wawancara dengan Agen AFP, Stephen Cook, 8 November 2009).

Dalam perspektf imigrasi sebenarnya keadaan tersebut, merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum sesuai dengan Pasal 48 Undang-undang nomor 9 Tahun 1992[3] dengan ancaman hukuman (maksimal 3 Tahun penjara). Ketcntuan ini merupakan salah  satu ketentuan yang disarankan untuk digunakan dalam buku petunjuk bagi petugas dalam menangani kejahatan penyelundupan manusia atau kejahatan yang berkaitan dengan penyelundupan manusia, untuk menangani permasalahan ini. Pada pelaksanaanya penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Swasta (PPNS) dari Ditjen Imigrasi dan  Departemen Hukum dan HAM sendiri termasuk jarang melakukan proses penyidikan  dengan menggunakan pasal yang ini. Terlalu banyaknya pelanggar dalam tindak pidana  ini dan sulit nya menjaga agar pelaku tidak melarikan diri saat proses penyidikan, membuat  penyidik menjadi enggan untuk menangani kasusnya. Walaupun demikian, kejahatan yang dirnaksud dalam pasal ini, yang merupakan sarana untuk melakukan proses hukum terkait dengan kejahatan penyelundupan manusia, bukanlah kejahatan penyelundupan manusia seperti apa yang dirnaksud dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2009 tentang Pengesahan  Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi dan Undang-Undang nomor 15 tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol  Menentang Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut dan Udara.

Persoalan penyelundupan manusia ini merupakan sesuatu yang serius  bagi Indonesia. Kenyataannya Indonesia memang memiliki suatu hambatan dalam  perang melawan penyelundupan manusia ini. Sampai saat ini memang belum ada tindak  lanjut upaya kriminalisasi sebagai komitmen pada Konvensi Perserikatan Bangsa bangsa  Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi dan Protokol menentang Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut dan Udara yang telah ditandatangani oleh  Indonesia di Palermo pada tahun 2000. Ketiadaan legislasi ini membuat pai penyelundupan manusia akhirnya hanya dijerat dengan hukum imigrasi dan tindak pidana  yang berhubungan dengan hukum keimigrasiaan Indonesia yang memiliki sanksi yang relatif tidak terlalu berat. Kelemahan ini merupakan suatu hal yang membuat Indonesia  mcnjadi tempat transit “favorit” para pelaku penyelundupan manusia. Kalau ini dibiarakan terjadi, maka Indonesia akan mendapat predikat buruk sebagai negara transit para  imigran gelap yang akan merugikan Indonesia secara langsung.

Dalam penanganan kejahatan penyelundupan manusia ini, pengantarjeraan sistem peradilan pidana Indonesia terhadap pclaku kejahatan penyclundupan manusia masih  belum memadai. Hal ini dikarenakan masih belum adanya kesatuan pandangan antara kepolisian dan kejaksaan dalam memproses kasus hukumnya. Di sisi lain hakim juga mempunyai kecenderungan untuk tidak memproses secara hukum atau memberikan  jenis hukuman yang ringan kepada seorang terdakwa yang telah mengikuti jalanya persidangan. Semua permasalahan tersebut adalah karena tidak adanya sebuah perangkat  hukum guna menjerat pelaku kejahatan.

Kesimpulan

Permasalahan kejahatan penyelundupan manusia di Indonesia tidak dapat dipungkiri telah mcnarik perhatian negara sahabat dan lembaga internasional seperti IOM dan UNHCRyang secara terus nienerus mendorong Indonesia untuk melakukan penanganan terhadap keberadaan imigran gelap yang ada di Indonesia. Di sisi lain dorongan juga datang dari Australia yang memang mempunyai kepentingan untuk melindungi negaranya dari masuknya arus migran melalui Indonesia.

Saat ini Indonesia hanya melakukan penanganan kejahatan penyelundupan manusia sebatas kemampuan yang dimiliki,dengan terus menerus dibantu baik oleh IOM maupun Australia sebagai pihak yang berkepentigan. Masyarakat maupun pemerintah Indonesia belum dapat merasakan keberadaan orang-orang asing yang masuk secara ilegal sebagai sebuah ancaman. Di sisi lain, dampak kerugian yang teijadi atas kejahatan ini memang tidak secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat ataupun pemerintah Indonesia.

Hal yang perlu diperhatikan adalah, bahwa dunia melalui PBB, telah menetapkan kejahatan ini sebagai suatu kejahatan transnasional yang terorganisir. Indonesia juga adalah salah satu pihak yang ikut menyatakan hal tersebut yang ditandai dengan pengakuan melalui sebuah undang-undang untuk berperan aktif dalam memerangi kejahatan ini. Hasil penelitian mengemukakan:

  1. Indonesia tidak serius dalam menangani permasalahan kejahatan penyelundupan manusia. Hal ini terlihat dari sekian banyak imigran gelap yang masuk ke Indonesia secara ilegal, tidak sampai 10 % dari pelaku kejahatan ini yang berhasil dimajukan ke persidangan untuk diadili.
  2. Penegak hukum banyak yang tidak mau menangani kejahatan ini karena tidak adanya aturan yang jelas dan tidak sepahamnya penyidik, penuntut umum serta hakim dalam menentukan penyelesaian permasalahan kejahatan penyelundupan manusia ini.
  3. Penyidik sering mengidentikan kejahatan penyelundupan manusia ini dengan pelanggaran keimigrasian yang tidak mempunyai bobot penting dalam penegakan hukumnya. Pada kenyataannya, kejahatan ini merupakan kejahatan yang sangat keji, dimana pelaku mengambil keuntungan dari orang yang sudah susah keadaannya di sebuah negara, yang tertekan karena kondisi perang atau sosialnya, dimana mereka tidak dapat hidup lagi di negaranya. Para migran ditipu dengan janji-janji akan difasilitasi dengan baik, yang pada kenyataannya mereka harus masuk ke kapal – kapal yang kondisinya memprihatinkan, bersama dengan anak-anak mereka yang masih kecil, atau kaum renta, dan terkadang masuk kontainer tanpa pendingin, hanya untuk menyeberang ke sebuah negara, bahkan ribuan dari mereka yang menyebrang mengalami kematian karena kondisi yang memprihatinkan tersebut. Dengan kondisi ini, sangat memprihatinkan ketika Indonesia masih tetap berpikiran kalau ini hanya sebatas pelanggaran keimigrasian saja.
  4. Selain dari keadaan tersebut, pembiaran yang dilakukan petugas terhadap imigrasi gelap yang ada di Indonesia, membuat mereka bebas bergerak melakukan apa saja. Bukan tidak mungkin apabila suatu saat kejahatan besar datang dari orang orang yang  diremehkan keberadaannya.
  5. Penyelundupan manusia merupakan sebuah kejahatan transnasional yang terorganisir yang diakui oleh dunia dalam bentuk konvensi dan protokol sedangkan indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan dalam menangani kejahatan yang  merupakan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan5.
  6. Peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, masih memiliki keterbatasan  dalam hal penanganan penyelundupan manusia, sehingga menimbulkan peluang  bagi para pelaku kejahatan untuk masuk atau memasukkan warga negara asing ke  wilayah Indonesia secara ilegal atau megeluarkan baik warga negara Indonesia maupun  warga negara asing keluar dari Indonesia secara ilegal menuju negara lain.
  7. Tidak adanya kesatuan pandangan untuk menangani permasalahan kejahatan penyelundupan manusia dengan munculnya beragam penafsiran oleh penegak hukum dalam menangani kejahatan penyelundupan manusia terutama dalam penggunaan  undang-undang selain undang-undang keimigrasian, bila ada kejahatan lain terkait dengan kejahatan penyelundupan manusia.
  8. Pada umumnya penanganan kejahatan penyelundupan manusia selalu dikaitkan dengan tindak pelanggaran keimigrasian. Namun demikian, Imigrasi tidak memprioritaskan  kejahatan ini karena kejahatan ini hanya dianggap sebagai pelanggaran batas wilayah.  Sedangkan Polri yang sudah mengetahui bahaya dari kejahatan ini, tidak dapat berbuat banyak, karena merasa kejahatan ini adalah domain dari Imigrasi. Di sisi lain  POlri yang selama ini selalu menyerahkan kejahatan khusus yang mempunyai undang undang lex spesialis kepada PPNS, membuat Polri tidak mampu memberdayakan penyidiknya untuk menangani permasalahan ini dengan undang-undang yang ada. Kerancuan  kewenangan antara penyidik Polri dan PPNS dari imigrasi dalam menangani permasalahan penyelundupan manusia juga menjadi salah satu permasalahan penanganan permasalahan ini.
  9. Australia yang selama ini meminta Indonesia untuk pro aktif  dalam melakukan penanganan terhadap kejahatan penyelundupan manusia, tidak p&rnah memberikan contoh konkret tentang bagaimana penanganan kejahatan penyelundupan manusia di negara Australia.
  10. Modus operandi yang terlalu umum dijelaskan kepada penegak hukum di Indonesia terkait dengan kejahatan penyelundupan manusia yang ada saat ini, membuat penegak hukum mempunyai kesulitan dalam penegakan hukum yang dilakukan.
  11. Ratifikasi konvensi dan protokol oleh Indonesia saat ini telah diwujudkan dalam sebuah undang-undang nomor 5 tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 15 tahun 2009. Namun demikian sampai saat ini salah satu kesepakatan untuk merevisi undang- undang yang ada atau membuat aturan perundang-undangan yang baru dalam rangka penanganan kejahatan penyelundupan manusia masih belum dilaksanakan.
  12. Banyaknya imigran gelap yang memanfaakan UNHCR dan IOM sebagai pelindung dari kejahatan penyelundupan manusia yang mereka lakukan serta adanya kerancuan antara pelaku dan korban  dalam kejahatan penyelundupan manusia ini ditinjau dari pandangan IOM dan UNHCR.

Saran

  1. Kriminalisasi yang menjadi komitmen Indonesia dalam ratifikasi konvensi dan protokol PBB, merpakan langkah awal Indonesia untuk memerangi kejahatan penyelundupan manusia. Kaitannya dengan hal tersebut, agar ketika aturan perundang-undangan mengenai penanganan kejahatan penyelundupan manusia ini sudah dibuat, para penegak hukum sudah tidak asing lagi dengan permasalahan ini sebaiknya pemerintah, secara gencar mensosialisasikan mengenai kejahatan penyelundupan manusia baik kepada aparat penegak hukum maupun kepada masyarakat.
  2. Selain sosialisasi, maka khusus untuk penegak hukum terutama Polri dan Imigrasi, diberikan pelatihan secara mendasar mengenai penanganan kejahatan peyelundupan manusia ini. Sehingga kesadaran akan bahaya dari kejahatan ini timbul dari masing- masing individu penegak hukum, dan nantinya akan secara aktif melakukan baik pencegahan maupun penegakan hukum terhadap kejahatan ini. Harapan dari keaktifan tersebut adalah, munculnya kebutuhan akan legislasi yang jelas dalam penanaganan kejahatan penyelundupan manusia ini.
  3. Agar Indonesia segera mengkriminalisasi kejahatan penyelundupan manusia ini dalam suatu bentuk aturan perundang-undangan supaya tidak teijadi kekosongan hukum dan ada kepastian hukum atas kejahatan penyelundupan manusia ini.


Tindak pidana transnasional yang tcrorganisasi mcrupakan salah satu bcntuk kcjahatan yang mcngancam kchidupan sosia , ekonomi, politik, keamanan dan pcrdamaian dunia yang mempunyai kriteria: a. lcbih dari satu wilayah ncgara. b. di suatu negara, tctapi pcrsiapan, perencanaan, pcngarahan, atau pcngendalian atas kcjahatan tcrscbut dilakukan di wilayah negara lain. c. di suatu wilayah ncgara, tctapi mclibatkan suatu kelompok pclaku tindak pidana yang tcrorganisasi yang melakukan tindak pidana lcbih dari satu wilayah ncgara. d. di suatu wilayah negara tctapi akibat yang ditimbulkan atas tindak pidana tcrscbut dirasakan di ncgara lain (Pcnyusun, Buku Petunjuk Bagi Pctugas Dalam Rangka Pcnanganan kcgiatan Pcnyclundupan Manusia dan Tindak Pidana yang Bcrkaitan dcngan Pcnyclundupan Manusia, Jakarta, 2009: Hal. 179,182)

[2]              Pada langgal 15 Desember 2000 Indonesia sebagai negara anggota Pcrserikatan Bangsa Bangsa telah turut  mcnandatangani United Nations Convention Against TramnasionaI Organized crime (Konvensi Pcrserikatan Bangsa-Bangsa Mcncntang Tindak pidana Transnasional yang Terorganisas) dan Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air, Supplementing the United  Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol mcncntang Penyelundupan Migran melalui darat Laut dan Udara Mekngkapi Konvcnsi Pcrscrikatan Bangsa-Bangsa Mcncntang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (Penyusun, Buku Petunjuk bagi Pctugas Dalan Rangka Pcnanganan kegiatan. Penyelundupan Manusia dan Tindak Pidana yang Berkaitan dcngan Penyelundupan Manusia, JakartaT 2009: HaL 179,193)

[3] Pasal 48 UU Nomor 9/ 1992 Tentang keimigrasian, “Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indoenesia tanpa melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di tempat Pemeriksaan Imigrasi dipidana dengan pidana penjara jpaling lama 3(tiga) tahun atau denda rp 15.000.000


POLEMIK ANDI NURPATI DARI KOMUNIKASI POLITIK

Tentang “bagaimana pandangan saudara mengenai isu-isu yang menjadi perbincangan masyarakat terkait 1. Masalah surat palsu Andi Nurpati/gugatan ketua MK atas surat palsu Andi Nurpati; 2. Simpang siur menyangkut penanganan kasus Nazarudin, sebagai rujukan saran untuk pengambilan keputusan khususnya di Polri”

Fenomena tersebut berawal dari Kasus surat palsu MK berawal dari sengketa Pemilu 2009 di daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. KPU menetapkan calon dari Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo, mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat berdasar putusan MK Nomor 112 tertanggal 14 Agustus 2009. Padahal sebelumnya, MK memenangkan calon legislator dari Partai Gerindra, Mestariani Habie, yang saat ini kasusnya masih bergulir ditangani oleh penyidik Polri dan adanya kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh bendahara Partai Demokrat M. Nazarudin yang saat ini kasusnya masih ditangani leh penyidik KPK.

……“Mengapa Polri tak mampu menemukan tersangka pengguna dan penyuruh pembuatan surat palsu tersebut? apakah Polri takut atau merasa tertekan secara politis, karena pengguna surat palsu itu disebut-sebut elite politik Partai Demokrat?, DPR didesak untuk membentuk panitia khusus (pansus) skandal korupsi mantan Bendahara Umum (Bendum) Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Desakan ini disampaikan untuk menyikapi lambannya proses pengusutan hukum oleh KPK atas kasus yang juga menyeret nama sejumlah elite Partai Demokrat ini. Juru bicara Barisan Rakyat Sikat Koruptor (BRSK), Rudi Chaerudin mengaku, pihaknya melihat proses penanganan kasus korupsi Nazaruddin oleh KPK berjalan lamban. “Terbukti sejumlah elite Partai Demokrat yang terlibat dalam kasus ‘mega’ korupsi Nazaruddin belum tersentuh oleh KPK,” ungkapnya. Untuk itu, lanjutnya, DPR harus turun tangan membentuk pansus mega korupsi Nazaruddin. Harapannya agar proses hukum kasus Nazaruddin dapat segera dituntaskan, termasuk siapa-siapa elite Partai Demokrat yang terlibat…..” , (REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rabu (14/9).

          Ungkapan-ungkapan tersebut adalah sebagian dari isu-isu atau tanggapan masyarakat (opini publik) yang berkembang terhadap bergulirnya kasus surat palsu Andi Nurpati terkait hasil pemilu dari sengketa Pemilu 2009 di daerah pemilihan Sulawesi Selatan I yang ditangani penyidik Polri dan kasus korupsi Wisma Atlet yang melibatkan mantan bendahara Partai Demokrat M. Nazarudin yang ditangani Penidik KPK.

Bila dilihat dari kaca mata masyarakat umum dan kacamata penyidikan secara formil, memang penanganan kedua kasus yang menjadi fenomena publik tersebut terkesan lamban dan seolah-olah ada yang ditutup-tutupi. Tetapi kita sebagai masyarakat beradab dan cerdas, tidak usah ikut-ikutan menghujat atau memberikan komentar negatif terhadap proses penyidikan kasus yang sudah ditangani oleh pihak yang berwenang (penyidik Polri dan KPK-red).  “Kita kan tidak tahu kebenarannya seperti apa, karena sampai saat ini kita (masyarakat) tidak pernah melihat bagaimana isi dan bentuk surat asli yang katanya ada oleh ketua MK. Dan kita juga tidak tahu bukti-bukti pendukung apa saja yang ada terkait kasus korupsi yang dilakukan M. Nazarudin untuk dapat menyeret orang-orang yang terkait untuk dapat dijadikan tersangka. Berikan kesempatan dan ruang yang tenang bagi penyidik bekerja secara profesional untuk mengungkap kebenaran yang ada”.

Hal-hal yang perlu dilakukan oleh para penyidik bersangkutan dalam menangani kasus tersebut adalah bekerja secara profesional, transparan, sehingga tidak terkesan bahwa penyidik takut akan penguasa atau diintervensi oleh elit-elit penguasa yang berkepentingan. Dalam hal ini penyidik jangan mempertaruhkan profesionalisme dan kredibilitas organisasinya. Penyidik tidak perlu menanggapi dengan emosi segala tanggapan atau opini masyarakat yang berkembang. Adalah wajar munculnya opini publik dalam setiap pemberitaan yang dikemas sedemikian rupa oleh media. Opini publik adalah pendapat kelompok masyarakat atau sintesa dari pendapat dan diperoleh dari suatu diskusi sosial dari pihak-pihak yang memiliki kaitan kepentingan, atau berita yang mendapat respon dari masyarakat / publik dan ada feed back dari masyarakat tersebut[1]. Dalam proses penyidikan jangan terlalu banyak melibatkan media dalam teknis penyidikan yang dilakukan. Karena media bisa saja akan memelintir (mengkemas) informasi yang diperoleh agar menarik untuk disimak oleh publik. Para penyidik tidak perlu lagi membuat agenda satting karena bola panas (informasi) sudah menggelinding. Agenda setting adalah upaya media untuk membuat pemberitaannya tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa. Ada strategi, ada kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan mempunyai nilai lebih terhadap persoalan yang muncul. Idealnya, media tak sekedar menjadi sumber informasi bagi publik. Namun juga memerankan fungsi untuk mampu membangun opini publik secara kontinyu tentang persoalan tertentu, menggerakkan publik untuk memikirkan satu persoalan secara serius, serta mempengaruhi keputusan para pengambil kebijakan. Di sinilah kita membayangkan fungsi media sebagai institusi sosial yang tidak melihat publik semata-mata sebagai konsumen[2].

Dalam fenomena tersebut sudah terjadi komunikasi politik.  Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Atau komunikasi politik adalah pesan yang disampaikan elite politik kepada masyarakat, kemudian pesan tersebut diterima oleh masyarakat sesuai yang diharapkan dan ada respon (feedback) terhadap pesan tersebut.[3] Dalam penyampaian pesan kepada masyarakat, elite politik menggunakan media massa sebagai sarana untuk membentuk opini publik. Makna dari komunikasi politik yaitu 1) kemampuan elit berkomunikasi (communicator capacity); 2) mengemas pesan politik (preparing messages); 3) memahami khalayak/konstituen (analysis target audience); 4) umpan balik yang diharapkan (feedback effect).[4] Terjadinya komunikasi politik ini ditandai dengan adanya komunikasi antara elit politik (communicator capacity) dalam hal ini Partai Demokrat, Mahkamah Konstitusi dan parpol-parpol lainnya. Pesan politik (preparing messages) yang disampaikan  ditujukan kepada masyarakat terkait keberadaan Partai Demokrat dan Penegakan Hukum oleh Polri. Dari pesan-pesan politik yang disampaikan, masyarakat memberikan feedback dari pesan itu melalui media massa. Tujuan akhir dari pesan yang disampaikan elit politik ini (setelah terbentuk opini) adalah momentum pemilu 2014 mendatang. Tujuannya untuk menjatuhkan partai Demokrat oleh parpol-parpol diluar partai Demokrat.

Polri sebagai aparat pemerintah terkena imbas dari blunder politik dari kasus pemalsuan surat Andi Nurpati Partai Demokrat. Kewenangan penyidikan yang dimiliki Polri menyebabkan Polri menerima  dampak dari kekesalan-kekesalan elit politik yang tidak puas. Dari kilasan sejarah yang menunjukkan Polri dekat dengan penguasa, tak heran jika Polri dianggap membela kepentingan penguasa. Polri dinilai lamban dalam memproses kasus pemalsuan surat yang dilaporkan MK. Dari penanganan kasus Andi Nurpati yang dilakukan Polri, terbentuk opini publik bahwa; 1) Polri takut dalam menetapkan Andi Nurpati sebagai tersangka. Pemberitaan yang berulang-ulang mengenai kasus Andi Nurpati, menciptakan opini publik bahwa Andi Nurpati bersalah. Masyarakat menganggap Andi Nurpati adalah tersangka dalam pemalsuan surat, namun Polri sampai saat ini belum menentapkannya sebagai tersangka. Masyarakat menilai ada intervensi dari penguasa sehingga menganggap Polri tidak berani menetapkan Andi Nurpati sebagai tersangka.; 2) Polri memiliki track record jelek dalam penanganan perkara. Banyaknya kasus-kasus yang tidak tuntas yang ditangani oleh Polri, menciptakan opini dalam masyarakat bahwa Polri tidak bisa dipercaya. Pesan yang disampaikan dalam hal ini adalah “wajar kalo perkara tidak selesai karena yang menangani adalah Polri”, menciptakan ketidakpercayaan kepada Polri dalam penangan kasus.

Untuk menghindari adanya kepentingan-kepentingan politik dalam proses hukum, Polri harus tetap berpatokan pada aturan yang ada. Tidak mengikuti kepentingan penguasa atau politik. Jika alat bukti cukup untuk menjerat Andi Nurpati sebagai tersangka maka proses hukum harus berlaku bagi Andi Nurpati. Sebaliknya jika alat bukti tidak mencukupi, Polri harus tegas untuk tidak mengikuti kepentingan dan opini publik yang menghendaki Andi Nurpati sebagia tersangka. Dalam hal ini Polri harus transparan dalam melakukan proses hukum terhadap Andi Nurpati.

Adanya opini yang berkembang, Polri harus bisa mengimbangi dengan melakukan pemberitaan-pemberitaan di media massa. Pemberitaan tersebut selain dilaksanakan oleh Humas, juga ada orang-orang diluar Polri yang bisa menyampaikan ke media mengenai apa yang telah dilakukan oleh Polri. Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas dalam masyarakat. Misalkan orang yang ahli komunikasi, ahli kriminologi, ahli hukum atau ahli-ahli lainnya yang ada kaitannya untuk memberikan komentar positif terhadap proses penyidikan yang sedang berjalan. Mereka diharapkan dapat memberikan pendapatnya melalui retorikanya masing-masing. Retorika adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen, atau kesenian untuk berbicara baik[5]. Hal ini dimaksudkan adalah (jika orang lain yang berbicara, berkomentar dll) untuk mencairkan opini yang sudah terbentuk dalam masyarakat bahwa proses penyidikan dalam kasus atau fenomena tersebut tidak semudah dalam menangani kasus-kasus biasa. Selain itu, diperlukan juga untuk membentuk sebuah tim independen yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kredibilitas baik diluar Polri. Hal ini diperlukan untuk mengimbangi pemberitaan yang negatif terhadap Polri.

            Semoga masalah ini ada jalan keluar yang terbaik, sehingga masing-masing dapat menjalankan profesionalnya dengan baik demi kemajuan dan pembangunan Bangsa Indonesia kearah yang lebih maksimal.

Daftar Pustaka

  1. Catatan kuliah komunikasi sosial, tanggal 16 Agustus 2011 tentang perkembangan ilmu komunikasi
  2. Catatan kuliah komunikasi sosial, tanggal 7 Agustus 2011 tentang pemahaman komunikasi masa.
  3. Penjelasan Prof. Dr. Bachtiar Aly dalam mata kuliah Komunikasi Sosial pada program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta. Tanggal 10 Agustus 2011.
  4. Prof. Dr. Bachtiar Aly, MA, Bahan ajaran mata kuliah Komunikasi Sosial, Slide ke-2
  5. Dori Wuwur Hendrikus, Retorika Terampil berpidati, Berdiskusi, Beragumentasi, Bernegosiasi, kanisius 1991.
  6. http://jurnalistikuinsgd.wordpress.com/2007/05/04/materi-perkuliahan-“komunikasi-politik”/

KEPRIBADIAN DAN JATI DIRI POLRI

YANG BERKARAKTER TRIBRATA

BAB   I    PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

Derasnya arus globalisasi melalui pemanfaatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah merambah keseluruh negara di dunia, dan menjadikan dunia seakan tanpa batas (borderless world  ). Seiring dengan perkembangan global tersebut, telah berkembang pula isu global yang terkait dengan profesionalitas para penegak hukum dalam pelaksanaan tugas yang disamping membawa dampak positif dalam semangat kebersamaan antar bangsa di dunia, juga sering dimanfaatkan oleh negara adidaya untuk melakukan intervensi terhadap negara-negara berkembang yang menurutnya mengabaikan nilai-nilai demokratisasi, HAM, lingkungan hidup dan nilai-nilai global lainnya dalam penegakan hukum.

Menyikapi berbagai permasalahan bangsa dan krisis multi dimensi yang melanda Indonesia termasuk krisis di bidang hukum yang sarat dengan penyimpangan dan kepentingan politik. Bahkan terkesan bahwa penyimpangan-penyimpangan tersebut seolah dilindungi oleh “pembiasan hukum” yang berlaku saat itu. Karena berbagai undang-undang, peraturan didesign untuk melindungi perbuatan-perbuatan penyimpangan yang pada akhirnya dijadikan “pembenaran” dan sangat merugikan masyarakat sebagai “pencari keadilan”. Pada sisi lain telah berkembang fenomena-fenomena yang merupakan kelemahan proses penegakan hukum, dan sering kali tidak mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum, sehingga dapat mengakibatkan kekecewaan dan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia. Rakyat dengan berbagai komponen bangsa sejak tahun 1999 menggulirkan tuntutan reformasi total di semua aspek kehidupan menuju tata Indonesia Baru. Berbagai langkah reformasi telah dilakukan antara lain di bidang politik melalui amandemen UUD 1945, dibidang ekonomi dengan menerapkan sistem yang bercirikan ekonomi kerakyatan, dibidang sosial budaya untuk mewujudkan masyarakat madani, dan dibidang hukum lebih mengarahkan kepada terwujudnya supremasi hukum, yang ditopang kokohnya pilar-pilar hukum yang mencakup substansi hukum, kualitas aparat penegak hukum, sarana prasarana penegakan hukum yang memadai, dan budaya hukum masyarakatnya

Komitmen rakyat dan seluruh komponen bangsa Indonesia dalam proses reformasi total, telah mampu mendorong reformasi Polri untuk kembali kepada jatidirinya sebagai salah satu aparatur pemerintah, yang sekaligus pengemban fungsi pemerintahan negara di bidang penegakan hukum yang “mandiri, profesional dan memenuhi harapan masyarakat”, Hal ini secara tegas tertuang dalam Undang Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya untuk dapat melaksanakan tugas pokoknya di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta memberikan perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, Polri harus segera merubah sifat-sifat militeristik menjadi paradigma baru sebagai Polisi Sipil (Civilian Police).

Polri selaku aparat penegak hukum dituntut untuk mampu berperan dalam menunjang terwujudnya supremasi hukum. Kehendak untuk mewujudkan supremasi hukum merupakan tantangan bagi Polri, karena Polri diharapkan untuk mampu meningkatkan profesionalisme

dan kinerjanya melalui penerapan paradigma baru dalam proses penegakan hukum. Untuk dapat melaksanakan tugas pokok, fungsi dan perannya, maka kepada Polri telah diberikan status kemandiriannya berdasarkan TAP MPR No VI/MPR/ tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No VII/MPR/ tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri serta Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk pertama kali ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya naskah dimaksud terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta pedoman pengalamannya. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 tahun 1997 dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia,  maka pada tanggal 7 Maret 2001 diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/05/III/2001 serta buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/04/III/2001 tanggal 7 Maret 2001.

Keberhasilan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,  menegakkan hukum,  dan melindungi,  mengayomi serta melayani masyarakat,  selain ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi sangat ditentukan oleh perilaku terpuji setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di tengah masyarakat.

Guna mewujudkan sifat kepribadian tersebut,  setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa terpanggil untuk menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap dan perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang. Pembinaan kemampuan profesi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam mengemban tugas pokoknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 dilaksanakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalaman penugasan secara berjenjang,  berlanjut dan terpadu. Selanjutnya setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 diwajibkan untuk menghayati dan menjiwai etika profesi Kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya dalam kedinasan maupun kehidupannya sehari-hari.

Etika profesi Kepolisian memuat 3 (tiga) substansi etika yaitu Etika Pengabdian, Kelembagaan dan KeNegaraan yang dirumuskan dan disepakati oleh seluruh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga menjadi kesepakatan bersama sebagai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memuat komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kristalisasi nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Tribrata dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur Pancasila.

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan pedoman perilaku dan sekaligus pedoman moral bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,  sebagai upaya pemuliaan terhadap profesi kepolisian,  yang berfungsi sebagai pembimbing pengabdian,  sekaligus menjadi pengawas hati nurani setiap anggota agar terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.

2.    MAKSUD DAN TUJUAN

  1. MAKSUD

Maksud pembuatan makalah ini adalah mencari gambaran kepribadian jati diri polri berkarakter Tribrata, cara memperoleh/ merekrut SDM yang senantiasa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menunjukkan sikap pengabdiannya serta cara memelihara/ mengusahakan agar SDM Polri memiliki kepribadian Tribrata.

      2.   TUJUAN

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah memberikan gambaran kepada Pimpinan Polri guna menentukan kebijakan lebih lanjut tentang kepribadian berkarakter Tribrata, perekrutan SDM dan upaya pemeliharaan SDM Polri agar memiliki kepribadian Tribrata.

3.      PERMASALAHAN

  1. Gambaran kepribadian seperti apa ? bila yang dijadikan acuan adalah jati diri polri berkarakter tribrata
  2. Bagaimana memperoleh/ merekrut SDM yang digambarkan dalam butir I (senantiasa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa) dengan menunjukkan sikap pengabdiannya ?
  3. Bagaimana memelihara/ mengusahakan agar SDM memiliki kepribadian tribrata ?
  4. Apa sajakah yang harus dimiliki setiap anggota polri dalam pelaksanaan tugasnya ?
  5. Materiil apa sajakah yang harus ditingkatkan dalam rangka pembinaan kekuatan polri diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme Polri ?

BAB    II   TEORI DAN KONSEP

 A.     ETIKA

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agara mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.

Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini:

  1. Drs. O.P. Simorangkir : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
  2. Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari seg baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
  3. Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.

Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.

Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Adapun tujuan mempelajari etika
untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu.

Pengertian Baik adalah sesuatu hal dikatakan baik bila ia mendatangkan rahmat, dan memberikan perasaan senang, atau bahagia (Sesuatu dikatakan baik bila ia dihargai secara positif). Sedangkan Pengertian Buruk adalah segala yang tercela. Perbuatan buruk berarti perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.

  1. Cara Penilaian Baik dan Buruk

Menurut Ajaran Agama, Adat Kebiasaan, Kebahagiaan, Bisikan Hati (Intuisi), Evolusi, Utilitarisme, Paham Eudaemonisme, Aliran Pragmatisme, Aliran Positivisme, Aliran Naturalisme, Aliran Vitalisme, Aliran Idealisme, Aliran Eksistensialisme, Aliran Marxisme, Aliran Komunisme. Kriteria perbuatan baik atau buruk yang akan diuraikan di bawah ini sebatas berbagai aliran atau faham yang pernah dan terus berkembang sampai saat ini. Khusus penilaian perbuatan baik dan buruk menurut agama, adat kebiasaan, dan kebudayaan tidak akan dibahas disini.

  1. Faham Kebahagiaan (Hedonisme)

“Tingkah laku atau perbuatan yang melahirkan kebahagiaan dan kenikmatan/kelezatan”. Ada tiga sudut pandang dari faham ini yaitu (1) hedonisme individualistik/egostik hedonism yang menilai bahwa jika suatu keputusan baik bagi pribadinya maka disebut baik, sedangkan jika keputusan tersebut tidak baik maka itulah yang buruk; (2) hedonisme rasional/rationalistic hedonism yang berpendapat bahwa kebahagian atau kelezatan individu itu haruslah berdasarkan pertimbangan akal sehat; dan (3) universalistic hedonism yang menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat perbuatan itu melahirkan kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk.

  1. Bisikan Hati (Intuisi)

Bisikan hati adalah “kekuatan batin yang dapat mengidentifikasi apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk tanpa terlebih dahulu melihat akibat yang ditimbulkan perbuatan itu”. Faham ini merupakan bantahan terhadap faham  hedonisme. Tujuan utama dari aliran ini adalah keutamaan, keunggulan, keistimewaan yang dapat juga diartikan sebagai “kebaikan budi pekerti”

  1. Evolusi

Paham ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini selalu (secara berangsur-angsur) mengalami perubahan yaitu berkembang menuju kea rah kesempurnaan. Dengan mengadopsi teori Darwin (ingat konsep selection of nature, struggle for life, dan survival for the fittest) Alexander mengungkapkan bahwa nilai moral harus selalu berkompetisi dengan nilai yang lainnya, bahkan dengan segala yang ada di ala mini, dan nilai moral yang bertahanlah (tetap) yang dikatakan dengan baik, dan nilai-nilai yang tidak bertahan (kalah dengan perjuangan antar nilai) dipandang sebagai buruk.

  1. Paham Eudaemonisme

Prinsip pokok faham ini adalah kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles, untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu (1) kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan, (2) kemauan, (3) perbuatan baik, dan (4) pengetahuan batiniah.

  1. Aliran Pragmatisme

Aliran ini menititkberatkan pada hal-hal yang berguna dari diri sendiri baik yang bersifat moral maupun material. Yang menjadi titik beratnya adalah pengalaman, oleh karena itu penganut faham ini tidak mengenal istilah kebenaran sebab kebenaran bersifat abstrak dan tidak akan diperoleh dalam dunia empiris.

  1. Aliran Naturalisme

Yang menjadi ukuran baik atau buruk adalah :”apakah sesuai dengan keadaan alam”, apabila alami maka itu dikatakan baik, sedangkan apabila tidak alami dipandang buruk. Jean Jack Rousseau mengemukakan bahwa kemajuan, pengetahuan dan kebudayaan adalah menjadi perusak alam semesta.

  1. Aliran Vitalisme

Aliran ini merupakan bantahan terhadap aliran natiralisme sebab menurut faham vitalisme yang menjadi ukuran baik dan buruk itu  bukan alam tetapi “vitae” atau hidup (yang sangat diperlukan untuk hidup). Aliran ini terdiri dari dua kelompok yaitu (1) vitalisme pessimistis (negative vitalistis) dan (2) vitalisme optimistime. Kelompok pertama terkenal dengan ungkapan “homo homini lupus” artinya “manusia adalah serigala bagi manusia yang lain”. Sedangkan menurut aliran kedua “perang adalah halal”, sebab orang yang berperang itulah (yang menang) yang akan memegang kekuasaan. Tokoh terkenal aliran vitalisme adalah F. Niettsche yang banyak memberikan pengaruh terhadap Adolf Hitler.

  1. Aliran Gessingnungsethik

Diprakarsai oleh Albert Schweitzer, seorang ahli Teolog, Musik, Medik, Filsuf, dan Etika. Yang terpenting menurut aliran ini adalah “penghormatan akan kehidupan”, yaitu sedapat mungkin setiap makhluk harus saling menolong dan berlaku baik. Ukuran kebaikannya adalah “pemelihataan akan kehidupan”, dan yang buruk adalah setiap usaha yang berakibat kebinasaan dan menghalangi-halangi hidup.

10. Aliran Idealisme

Sangat mementingkan eksistensi akal pikiran manusia sebab pikiran manusialah yang menjadi sumber ide. Ungkapan terkenal dari aliran ini adalah “segala yang ada hanyalah yang tiada” sebab yang ada itu hanyalah gambaran/perwujudan dari alam pikiran (bersifat tiruan). Sebaik apapun tiruan tidak akan seindah aslinya (yaitu ide). Jadi yang bai itu hanya apa yang ada di dalam ide itu sendiri.

11. Aliran Eksistensialisme

Etika Eksistensialisme berpandangan bahwa eksistensi di atas dunia selalu terkait pada keputusan-keputusan individu, Artinya, andaikan individu tidak mengambil suatu keputusan maka pastilah tidak ada yang terjadi. Individu sangat menentukan terhadao sesuatu yang baik, terutama sekali bagi kepentingan dirinya. Ungkapan dari aliran ini adalah “ Truth is subjectivity” atau kebenaran terletak pada pribadinya maka disebutlah baik, dan sebaliknya apabila keputusan itu tidak baik bagi pribadinya maka itulah yang buruk.

12. Aliran Marxisme

Berdasarkan “Dialectical Materialsme” yaitu segala sesuatu yang ada dikuasai oleh keadaan material dan keadaan material pun juga harus mengikuti jalan dialektikal itu. Aliran ini memegang motto “segala sesuatu jalan dapatlah dibenarkan asalkan saja jalan dapat ditempuh untuk mencapai sesuatu tujuan”. Jadi apapun dapat dipandang baik asalkan dapat menyampaikan/menghantar kepada tujuan

Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya perilaku manusia :

  1. Etika Deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
  1. Etika Normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

Etika secara umum dapat dibagi menjadi 1:

  1. Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
  1. Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.

Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :

  1. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
  2. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.

Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.

Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan pembahasan bidang yang paling aktual saat ini adalah sebagai berikut :

1. Sikap terhadap sesama

2. Etika keluarga

3. Etika profesi

4. Etika politik

5. Etika lingkungan

6. Etika idiologi

Sistem Penilaian Etika :

  1. Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila.
  2. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi pekerti. Budi tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti. Jadi suatu budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa; dari semasih berupa angan-angan, cita-cita, niat hati, sampai ia lahir keluar berupa perbuatan nyata.
  3. Burhanuddin Salam, Drs. menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan di nilai pada 3 (tiga) tingkat :
    1. Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam hati, niat.
    2. Tingkat kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu pekerti.
    3. Tingkat ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu baik atau buruk.

Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa Etika Profesi merupakan bidang etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika sosial. Kata hati atau niat biasa juga disebut karsa atau kehendak, kemauan, dan isi dari karsa inilah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Dalam hal merealisasikan ini ada (4 empat) variabel yang terjadi :

a.   Tujuan baik, tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik.

b.   Tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya ; kelihatannya baik.

c.    Tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik.

d.   Tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat baik.

Ciri-ciri untuk menentukan perbuatan manusiawi (actus humanus) dari segi etika dapat dianalisa melalui sifatnya, antara lain2 :

  1. Pengertian/ pengetahuan
  2. Kesukarelaan
  3. Kemerdekaan

Diantara ketiganya itu kesukarelaanlah yang pada hakikatnya menyebabkan suatu perbuatan menjadi perbuatan manusiawi. Pengertian adalah syarat mutlak hakiki; tanpa itu suatu perbuatan tidak dapat sukarela. Kemerdekaan termasuk ke dalam hampir semua perbuatan manusiawi kita dan biasanya muncul dari fakta bahwasanya perbuatan adalah sukarela.

B.    ETIKA KEPRIBADIAN

Etika kepribadian menganggap keberhasilan lebih merupakan suatu fungsi kepribadian, citra masyarakat, sikap dan perilaku, keterampilan dan teknik, yang melicinkan proses interaksi manusia. pada dasarnya mengambil dua jalan yaitu : teknik menjalin hubungan manusia dan masyarakat, dan sikap mental positif. beberapa bagian lain dari pendekatan kepribadian jelas manipulatif, seringkali menipu, mendorong orang menggunakan teknik-teknik tertentu untuk membuat orang lain menyukai mereka, atau berpura-pura tertarik akan hobi orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari orang tersebut, atau untuk menggunakan “penampilan kekuasaan” atau masuk mengintimidasikan jalan mereka dalam kehidupan. beberapa literatur mengatakan bahwa karakter merupakan bahan keberhasilan, tetapi tidak menyadarinya bahwa ia merupakan hal yang mendasar dan sebagai katalisator. Acuan etika karakter kadang hanya dibibir saja, penggerak dasarnya adalah teknik mempengaruhi yang cepat, strategi kekuasaan, keterampilan berkomunikasi, dan sikap positif.

Etika karakter mengajarkan bahwa terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang efektif, dan bahwa orang hanya dapat mengalami keberhasilan yang sejati dan kebahagiaan yang abadi jika mereka belajar dan mengintegrasikan prinsip-prinsip tersebut kedalam dasar mereka. etika karakter sebagai dasar dari kepribadian maka hal-hal seperti integritas, kerendahan hati, kesetiaan ,pembatasan diri, keberanian, keadilan, kesabaran, kerajinan, kesederhanaan, kesopanan, dan hukum utama (berbuatlah kepada orang lain seperti apa yang kami kehendaki mereka perbuat kepadamu).

Elemen-elemen dari etika kepribadian bukan tidak menguntungkan, bahkan seringkali cenderung esensial untuk mencapai keberhasilan. tetapi semua ini merupakan ciri sekunder bukan yang primer. Benar-benar tidak ada artinya betapapun hebat kepandaian bicara kita atau bahkan betapa baik tujuan nya jika hanya ada sedikit atau tidak ada kepercayaan sama sekali, maka tidak adkan ada dasar untuk keberhasilan yang permanen. hanya keberhasilan yang mendasar yang dapat memberi hidup pada suatu teknik. seperti menanam, bila dikerjakan tergesa-gesa sebanyak mungkin menjelang panen lupa menanam padi pada musim sebelumnya, bermain sepanjang musim panas dan mengharapkan hasil tuaian yang bagus? pertanian merupakan sistem yang berkerja berdasarkan hukum alam. harga harus dibayar dan proses harus diikuti. Karena anda selalu menuai apa yang anda tabur, tidak ada jalan pintas.

Dalam jangka pendek, dalam sistem artificial seperti sekolah, anda mungkin dapat lulus juka mampu belajar memanipulasi peraturan buatan manusia untuk memainkan permainan. Dalam interaksi antar manusia yang singkat saja dan sekali saja anda dapat menggunakan etika kepribadian untuk lulus dan membuat kesan yang baik melalui pesona dan keahlian serta berpura-pura tertarik pada hobi orang lain. anda dapat menggunakan teknik yang mudah dan cepat yang mungkin berhasil dalam situasi jangka pendek, akan tetapi ciri sekunder saja tidak mempunyai manfaat permanen dalam hubungan jangka panjang. Akhirnya, jika tidak ada integritas yang mendalam dan kekuatan karakter yang mendasar, tantangan hidup malah akan menyebabkan motif-motif yang sebenarnya muncul ke permukaan dan kegagalan sebagai ganti keberhasilan jangka pendek tersebut.

Pada akhirnya siapa kita apa adanya berkomunikasi jauh lebih efektif dibandingkan cara apapun yang kita kerjakan atau katakan. kita semua mengetahuinya. ada orang yang kita percayai sepenuhnya karena kita mengetahui karakter mereka. Mereka memiliki teknik hubungan manusia atau tidak, kita tetap percaya pada mereka dan kita berkerja dengan berhasil bersama mereka. Siapa orang itu sebenarnya, bukan sosok pura-pura yang ia perankan.3

Manfaat etika dalam pergaulan sehari-hari antaranya:

  1. Disenangi, disegani dan dihormati orang lain.
  2. Memudahkan hubungan dengan orang lain.
  3. Memelihara suasana yang menyenangkan
  4. Memberi keyakinan pada diri sendiri
  5. Meningkatkan citra pribadi di mata masyarakat.

Etika dalam kehidupan sehari-hari salah satunya mencakup etika kepribadian. Menurut Gordon Q. Allport kepribadian dapat diartikan sebagai:

  1. Organisasi dinamis yang ada didalam diri dimana sistem psikofisiknya akan menentukan karakteristik cara berpikir dan cara berperilaku individu tersebut.
  2. Kepribadian tidak dapat diamati karena adanya didalam
  3. Kepribadian tidak sama dengan tingkah laku.

Pembentukan kepribadian dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.

  1. Kepribadian matang.
  2. Memahami Etika.
  3. Melaksanakan Etiket.

Contoh kepribadian dalam kehidupan bermasyarakat agar dapat memahami diri sendiri dan lingkungan:

  1. Tata Krama Berkenalan
    1. Cara memperkenalkan diri.
    2. Cara meyapa orang lain.
    3. Cara berjabat tangan.
  1. Sikap Santun
    1. Cara berdiri.
    2. Cara duduk.
    3. Cara berjalan.
    4. Cara berbicara.

Untuk mengetahui apakah kita dianggap berkepribadian matang atau tidak bergantung dari beberapa hal seperti4:

  1. Ada tidaknya perluasan diri
  2. Apakah penyesuaian sosial ditandai atau diikuti oleh kehangatan hubungan dengan orang lain atau tidak.
  3. Menerima diri apa adanya.
  4. Memilih persepsi yang realistis mengenai tugas dan kemampuan
  5. Mampu menilai diri secara objektif.
  6. Memiliki falsafah hidup yang dapat mengarahkan sikap dan tindakannya.

Untuk itu agar seseorang bisa diterima disuatu lingkungan maka orang tersebut harus mengenal dan memahami perilaku sudah tentu tidak lepas dari masalah etika. Sesuai dengan etika kepribadian, disana suatu keahlian dan teknik bisa dipelajari dan menjadi citra publik, suatu kepribadian dan sikap bisa berkembang menghasilkan kesuksesan. Masalahnya, terkadang kita mungkin tidak berpendirian dan dangkal. Ide-ide itu bisa membantu ketika mereka mengalir secara alamiah dari suatu karakter yang baik dan motif-motif yang benar, tetapi itu menjadi hal yang tidak begitu penting (di etika kepribadian).5

C.        ETIKA KEPRIBADIAN DALAM KODE ETIK PROFESI POLRI

Etika Profesi Polri merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota dalam wujud komitmen moral yang meliputi etika kepribadian, etika kenegaraan, etika kelembagaan, dan etika hubungan dengan masyarakat

Untuk mengatur perilaku Polri sesuai dengan Pasal 34, 35 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia maka dikeluarkanlah Kode Erik Profesi Polri yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Kapolri No Pol Kep/32/VTI/2003 dan direvisi dengan Peraturan Kapolri No Pol 7 Tahun 2006 tanggal 1 Juli 2006.

Perangkat UU dan peraturan menyangkut etika sudah jelas. Sekarang tinggal kemauan seluruh ajaran Polri, terutama para petinggi Polri, untuk membenahi soal pelanggaran etika ini. Sebab segudang prestasi Polri, misalnya dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, seakan tertutup rapat dengan berbagai kasus yang terus bermunculan dan melibatkan petinggi Polri.

Karena persoalan utama yang mencuat ke permukaan saat ini adalah pelanggaran etika, dan sebagaian pelaku sudah mengakui serta sebagian lagi masih bantah-memban-tah, maka penyelidikan mendalam harus dilakukan guna menuntaskan soal ini. Apabila Polri tidak mau terbuka dan bahkan membela petinggi yang terbukti melakukan pelanggaran, maka momentum berharga ini hilang. Dan dalam waktu yang panjang, institusi Polri akan terus dikerangkeng oleh tindakan-tindakan menghalalkan segala cara dari polisi sendiri. Maukah Polri melakukan pembenahan?

Dalam Kode Etik Kepolisian yang mencakup empat etika, salah satunya adalah etika kepribadian yang mengandung arti sikap moral anggota Polri terhadap profesinya didasarkan pada panggilan ibadah sebagai umat beragama. Kewajiban sebagai anggota Polri dalam etika kepribadian meliputi 6 :

  1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  2. Menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri dari dalam hati nuraninya kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  3. Melaksanakan tugas kenegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni, karena kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai wujud nyata amal ibadahnya.

BAB   III    PEMBAHASAN

A.     GAMBARAN KEPRIBADIAN JATI DIRI POLRI BERKARAKTER TRIBRATA

Tribrata dalam pengertian lama merupakan dua kata yang ditulis tidak terpisahkan. Tri artinya tiga dan brata / wrata artinya jalan / kaul. Maka artinya adalah tiga jalan / kaul. Sedangkan tribrata dalam pengertian baru telah menjadi satu sukukata Tribrata yang artinya Tiga Azas Kewajiban. Maka dalam pengucapannyapun tidak boleh lagi ada pemenggalan kata antara Tri dan Brata (TRI — BRATA) melainkan menjadi satu ucapan kata yaitu Tribrata. Tribrata adalah nilai dasar yang merupakan pedoman moral dan penuntun nurani bagi setiap anggota Polri serta dapat pula berlaku bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya.

  1. Kami Polisi Indonesia, mengandung makna sebagai berikut :
    1. Bahwa kita Polisi Indonesia adalah berketuhanan Yang Maha Esa, berbangsa Indonesia, bernegara Indonesia dan bermasyarakat Indonesia.
    2. Kita harus bangga bahwa kita menjadi Polisi Indonesia, Polisi Indonesia yang bangga dengan bangsanya, negaranya dan masyarakatnya.
    3. Bangga menjadi Polisi yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bangga menjadi Polisi yang selalu setia kepada Pimpinan Polri dan Negara. Juga harus bangga menjadi Polisi yang senantiasa berani bertanggung jawab atas apa yang rnenjadi tugasnya.
    4. Merupakan pernyataan ikatan jiwa korsa yang kuat antar sesama anggota Polri, untuk selalu memupuk kebersamaan merasa senasib sepenanggungan. Dengan tidak saling menjungkirbalikkan antar sesama anggota hanya karena kepentingan pribadinya.
    5. Merupakan pernyataan netralitas kita anggota Polri artinya tidak berpihaknya kita anggota Polri terhadap urusan politik atau kebijakan pemerintah ataupun dalam berbagai perkara yang kita tangani baik secara institusi maupun pribadi, sepanjang kita masih menjadi anggota Polri.
  1. Brata Pertama: Kami Polisi Indonesia berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mengandung makna sebagai berikut:
    1. Kita adalah Polisi sekaligus juga sebagai hamba Tuhan. Maka ketika kita melaksanakan tugas dan fungsi kita sebagai anggota Polisi disaat itu juga kita harus ingat dan sadar bahwa Tuhan selalu bersama kita dan sedang mengawasi apa saja yang kita kerjakan. Maka jadikanlah tugas kita itu sebagai bagian amal ibadah kita kepada Tuhan.
    2. Kita harus memiliki nilai nasionalisme dan kebangsaan, dalam arti bahwa dalam tugas kita haruslah mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan pribadi atau golongan.
    3. Kita polisi Indonesia adalah Polisi bangsa Indonesia, Polisi negara Indonesia dan bukan sebagai alat politik atau alat pemerintah.
  1. Brata Kedua : Kami Polisi Indonesia menjunjung tinggi nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, mengandung makna :
    1. Bahwa kita anggota Polri adalah aparat negara sebagai penegak hukum, haruslah siap menegakkan hukum baik terhadap diri pribadi maupun orang lain/masyarakat.
    2. Haruslah kita ketahui bahwa negara kita adalah negara hokum bukan negara kekuasaan.
    3. Bahwa kita anggota Polri harus sanggup dan mampu untuk selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan dengan membela yang benar dengan kebenarannya serta kita harus menghargai dan menghormati hak-hak orang lain,
    4. Kita anggota Polri harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas kita kepada masyarakat, bangsa dan negara.
    5. Kita anggota Polri harus mengakui bahwa negara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
  1. Brata Ketiga : Kami Polisi Indonesia senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban, mengandung makna :
    1. Bahwa kita anggota Polri harus selalu siap melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan penuh keikhlasan, tanpa paksaan siapapun serta tanpa adanya kepentingan apapun kecuali karena tugas dan tanggung jawab semata.
    2. Bahwa kita anggota Polri secara umum tugasnya adalah sebagai Pelindung dan Pelayan masyarakat.
    3. Masyarakat adalah sentral/pusatnya dimanapun kita anggota Polri mengabdikan diri.
    4. Antara kita anggota Polri dan masyarakat yang kita layani adalah sejajar dimata hukum dan perundang-undangan negara. Artinya kita tidak boleh semena-mena dan semaunya sendiri, kita tidak boleh menganggap bahwa masyarakat itu bodoh dan lain-lain. Akan tetapi jadikanlah masyarakat itu sebagai mitra dalam ketertiban, kenyamanan, keamanan dan penegakkan hukum.

Polri telah merekrut putra daerah, yaitu mereka yang dilahirkan dan dibesarkan di wilayah administrasi kepolisian setempat dari berbagai asal sukubangsa dan keyakinan keagamaan. Bersama dengan kekuatan organik yang telah ada di setiap Polsek dan Polres, para bintara ini akan dapat menjalankan peranan sebagai polisi multikultural mengingat bahwa mereka adalah petugas dari daerah yang bersangkutan dan yang mengenal dengan baik warga masyarakat dan kebudayaanya.

Dalam pelaksanaan tugas di lapangan tersebut petugas kepolisian harus dapat membebaskan diri dari stereotip dan prasangka, dan tidak boleh memihak kepada mereka yang sekerabat atau yang berasal daridaerah yang sama dengan dirinya, atau mereka yang sukubangsanya sama dengan kesukubangsaannya.

Petugas kepolisian di lapangan harus tetap berpegang teguh pada Tri Brata dan pada peranannya sebagai penegak hukum yang harus bertindak adil. Perangkat penegak hukum terutama Polri sebagai garda terdepan harus dapat mengikuti perkembangan dinamika masyarakatnya. Untuk itu maka harus bersikap ; progresif tidak bertahan pada pola lama (konservatif), dan mampu mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi (Antisipatif), serta protagonis yang apresiasinya tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat normative saja tetapi juga berorientasi kepada masyarakatnya. Sehingga Polri juga dapat dikatakan sebagai arsitek

untuk mewujudkan keteraturan, ketertiban dan keamanan masyarakat. Kepedulian sangat besar pengaruhnya mendorong penyelesaian perkara yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Sikap masa bodoh, tidak peduli atas pencari keadilan, kecongkakan, kekuasaan, dapat mengakibatkan penyelesaian perkara yang tidak manusiawi, tidak beradab dan tidak layak, serta penyelesaian perkara yang tidak teliti dan kurang sempurna. Gambaran atau potret seperti ini sering dijumpai dijajaran Polri dalam pelaksanaan tugasnya baik sebagai aparat penegak hukum maupun dalam rangka pemeliharaan kamtibmas. Hal ini sering mengakibatkan “kekecewaan masyarakat” terhadap Polri.

Sebaliknya apabila perangkat penegak hukum memiliki etos kerja, profesionalisme dan dedikasi yang didukung dengan nilai kepedulian, akan merupakan landasan yang kuat untuk bertekad menyelesaiakan perkara sesuai azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Aspek etos kerja dan profesionalisme merupakan hal yang utama dalam menjalankan semua jenis pekerjaan berkaitan dengan profesinya, seperti halnya profesionalisme penegak hukum yang peduli dan berdedikasi tinggi.

B.     CARA MEMPEROLEH / MEREKRUT SDM YANG SENANTIASA BERTAKWA KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA DENGAN MENUNJUKKAN SIKAP PENGABDIANNYA

Sejauh pengetahuan saya, berdasarkan bacaan dan pengamatan, untuk menjadi polisi idealnya dimulai dari rekrutmen bibit unggul calon polisi. Jadi sejak awal untuk menjadi polisi diperlukan “orang-orang baik”. Berkualitas orang baik merupakan modal penting jadi polisi. Ini berkaitan dengan polisi yang sering saya rumuskan merupakan senyawa dari O2H yaitu singkatan dari Otot Otak Hati Nurani. Gabungan dari ketiganya mendesakkan persyaratan orang-orang baik tersebut, terutama faktor hati nurani yang membedakan polisi dengan profesi lainnya. Dalam kepustakaan tentang polisi, etika polisi juga sudah menempati susutnya sendiri yang tetap.7

  1. Penerapan pola dan proses rekruitmen secara transparan yang berorientasi pada kualitas sumber daya manusia. Untuk dapat memilih kualitas calon siswa pendidikan Polri dilaksanakan sejak dini melalui media pembinaan di sekolah, karang taruna sebelum pendaftaran calon siswa dimulai. Proses seleksi dilaksanakan dengan “melibatkan lembaga profesi non Polri”, yang didasarkan pada persyaratan kriteria penilaian yang obyektif serta berdasarkan kaedah yang jelas, sehingga terhindar dari intervensi, menghilangkan budaya sponsor, titipan dan KKN.
  2. Pola dan proses Pendidikan Polri sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan, dilaksanakan dengan  “basis kompetensi dan berkarakter profesional”. Kurikulum dan komponen pendidikan lainnya di design untuk dapat menjamin terciptanya proses pembelajaran yang efektif. Sehingga dapat memperoleh hasil didik yang disamping menguasai  wawasan  pengetahuan  dan  ketrampilan , Polri  juga  memiliki  kinerja sikap,perilaku, disiplin yang hidup, integritas moral dan tanggungjawab yang tinggi dalam pelaksanaan tugas Polri.
  3. Pola rekrutmen personil Polri diarahkan untuk memenuhi strategi “local boy for the local job” dengan tetap memperhatikan ketaqwaan calon personil Polri  kepada Tuhan Yang Maha Esa serta persyaratan dan proses yang harus dipenuhi dan dilaksanakan guna memperoleh calon terbaik untuk siswa Bintara maupun Perwira.
  4. Peningkatan kualitas pendidikan baik pendidikan pembentukan maupun pengembangan guna memperoleh hasil didik yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, profesional, intelektualis dan memiliki integritas kepribadian yang baik.
  5. Peningkatan latihan-latihan secara terukur, terarah untuk terciptanya ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kultur kepemimpinan dan profesionalisme sesuai dengan tantangan tugas kedepan serta harapan masyarakat.
  6. Dekonsentrasi pada pelaksanaan tugas pokok untuk pencapaian Visi dan Misi Polri sesuai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Tribrata.
  7. Pembangunan sarana dan prasarana perangkat hukum yang terkait langsung dengan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, penegakan supremasi hukum dan HAM.

 

C.         CARA MEMELIHARA / MENGUSAHAKAN AGAR SDM MEMILIKI KEPRIBADIAN TRIBRATA

Cara memelihara/ mengusahakan agar SDM memiliki kepribadian Tribrata diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme Polri melalui peningkatan sumber daya manusia sebagai berikut:

  1. Pembinaan karier personil Polri yang berpegang teguh pada Ketuhanan Yang Maha Esa serta prinsip merit system dan achievement yang transparan dan berkelanjutan.
  2. Desentralisasi kewenangan pembinaan personil Polri pada strata kepangkatan tertentu kepada kesatuan kewilayahan secara berjenjang dengan mengimplementasikan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  3. Menjabarkan kepribadian Tribrata, sistem dan pola pembinaan karier dengan carier planning yang jelas dan transparan agar dapat lebih mendorong personil Polri untuk berprestasi sesuai bidang tugasnya. Promosi dan penempatan yang transparan dan bersih didasarkan pada pertimbangan dan penilaian yang obyektif untuk dapat menumbuh kembangkan kompetisi yang sehat bagi personil Polri pada posisi, status dan jenjang kepangkatannya.
  4. Meningkatkan kepribadian Tribrata, kesejahteraan personil Polri dengan basis kompensasi finansial sesuai dengan sifat, beban dan tanggung jawab penugasan. Sehingga dapat meningkatkan kinerja dan profesionalisme anggota Polri. Disamping kompensasi finansial dalam bentuk  gaji dan tunjangan pendapatan, juga diperlukan peningkatan jaminan kesehatan, asrama dan transportasi bagi personil Polri dalam pelaksanaan tugas di lapangan.
  5. Meningkatkan fungsi dan mekanisme pengawasan sesuai kepribadian Tribrata yang transparan, obyektif dan demokratis, baik yang dilaksanakan melalui mekanisme pengawasan internal Polri maupun mekanisme pengawasan eksternal (external control) yang merupakan cerminan partisipasi masyarakat menuju  civil society dan sekaligus merupakan akuntanbilitas publik.
  6. Penerapan Reward and Punisment System secara konsisten dan konsekuen dalam rangka memberikan motivasi untuk meningkatkan kepribadian Tribrata, produktivitas dan kualitas kinerja Polri baik secara individual maupun kesatuan. Karena ketidakseimbangan antara apresiasi yang diberikan kepada personil Polri yang berprestasi dengan rendahnya penerapan sanksi kepada personil Polri yang melakukan penyimpangan  (bermasalah), akan berpengaruh negatif terhadap disiplin dan kinerja Polri baik secara individu maupun kesatuan.
  7. Untuk lebih menjamin tercapainya program tersebut diatas, perlu pula diimbangi dengan “proses pengembangan diri” setiap individu personil Polri. Dalam konsep pengembangan individu bagi setiap orang yang memiliki profesi apapun dalam pelaksanaan tugasnya, yang berkaitan dengan apa yang sebut competency profile. Demikian halnya bagi setiap insan Polri dalam rangka membangun kepribadian Tribrata dan profesionalismenya, antara lain harus mampu mengembangkan competency profile.
  8. SETIAP ANGGOTA POLRI DALAM PELAKSANAAN TUGASNYA HARUS MEMILIKI :
    1. Attitude yang baik, tercermin dalam sikap perilaku, integritas moral, disiplin, semangat dan dedikasi yang tinggi dalam pelaksanaan tugasnya.
    2. Knowledge, memiliki wawasan pengetahuan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan memiliki kemampuan untuk menguasai teknologi sejalan dengan perkembangannya yang sesuai dan bermanfaat untuk mendukung pelaksanaan tugasnya.
    3. Inter Personal Skill, merupakan kemampuan dan ketrampilan dasar yang harus dimiliki oleh setiap insan Polri, dalam berkomunikasi dan berinteraksi  (human relation) baik dalam rangka pelaksanaan tugasnya maupun dalam kehidupan sehari-hari.
    4. Technical Skill, mencakup kemampuan, kemahiran dan keahlian baik teknik, taktik, strategi, maupun manajemen yang didukung dengan pertanggung jawaban administrasi sesuai dengan jenis bentuk dan tatarannya.

Keempat aspek diatas saling berkaitan erat satu sama lain yang secara simultan harus ditumbuh kembangkan oleh setiap insan Polri sebagai aparat penegak hukum yang profesional yang dilandasi dengan nilai-nilai luhur dalam Tribrata, integritas moral, etika profesi dan berpegang teguh pada komitmen yang telah disepakati dalam pelaksanaan tugasnya.

D.        PEMBINAAN KEKUATAN POLRI DIARAHKAN UNTUK MENINGKATKAN PROFESIONALISME POLRI MELALUI PENINGKATAN MATERIIL SEBAGAI BERIKUT :

  1. Melengkapi pengadaan  alins / alongins pada setiap lembaga pendidikan sesuai jenis dan jenjang pendidikan dalam rangka memenuhi kebutuhan baik dalam proses pembelajaran maupun kebutuhan praktek lapangan yang realistis.
  2. Pemenuhan sarana dan prasarana yang berkarateristik untuk dapat menjamin baik pelayanan maupun operasional dibidang penegakan hukum. Terutama sarana mobilitas dan komunikasi serta peralatan pendukung proses penyelidikan dan penyidikan secara scientific investigation.
  3. Pengadaan alut dan alsus yang mampu mendukung pelaksanaan tugas Polri dibidang penegakan hukum, sekaligus mampu dimanfaatkan dalam rangka pemberian bantuan pelayanan kepada masyarakat dalam kondisi tertentu.

BAB   IV   PENUTUP

 KESIMPULAN

  1. Strategi dan kebijakan yang perlu dilaksanakan dalam memantapkan Ketaqwaan para personil Polri kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepribadian Tribrata dan profesionalisme Polri dibidang pembinaan personil Polri, penegakan hukum, diimplementasikan dalam bentuk program yang secara simultan dan dilaksanakan melalui proses pembangunan kekuatan dengan lebih mengedepankan satuan kewilayahan, pembinaan sumberdaya pendukung yang mencakup sumberdaya personil, materiil dan anggaran, serta meningkatkan pembinaan operasional Polri dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Polri dengan menerapkan kepribadian Tribrata sebagai jati diri seluruh personil Polri.
  2. Secara spesifik pada aspek pembinaan sumberdaya manusia diperlukan terobosan dalam pola dan proses rekruitmen, pendidikan, pembinaan karier, peningkatan kesejahteraan, fungsi pengawasan dan penerapan kepribadian Tribrata, Reward And Punishment System, serta diimbangi proses pengembangan diri oleh setiap individu (Individual Development). Hal ini dilakukan dengan maksud untuk lebih memantapkan profesionalisme Polri dibidang penegakan hukum terutama yang berkaitan dengan integritas moral, sikap perilaku dan etika profesi serta disiplin dan tanggung jawab yang tinggi pada setiap personil Polri.

 REKOMENDASI

Dalam rangka memantapkan profesionalisme Polri dibidang penegakan hukum yang dilandasi dengan nilai-nilai luhur dalam Tribrata :

  1. Dirumuskan kembali ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan rekruitmen, sistem pendidikan dengan basis kompetensi, efektifitas penerapan  kepribadian Tribrata, reward and punishment system dan tingkat kesejahteraan personil Polri.
  2. Mendorong pemerintah untuk meningkatkan dan memperluas hubungan bilateral baik dalam lingkup negara-negara regional maupun internasional dalam rangka untuk mendukung pembinaan dan pengembangan SDM Polri.

DAFTAR PUSTAKA


KEDUDUKAN POLRI DAN SYSTEM KEPOLISIAN

DI ERA DEMOKRASI

Pendahuluan

Beberapa saat yang lalu insan Bhayangkara dikagetkan dengan adanya gugatan terhadap pasal 8 dan pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas kedudukan Polri yang langsung di bawah Presiden, dimana gugatan tersebut didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi oleh Pihak penggugat yang merupakan advokat yakni, Andi M Asrun, Dorel Amir, dan Merlin. Walaupun pada akhirnya gugatan dicabut, namun hal ini menyadarkan setiap anggota Polri bahwa kedudukannya  langsung di bawah Presiden dapat berubah hanya dengan satu ketokan palu hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Namun apabila disadari bahwa wacana mereposisi kedudukan Polri bukan hanya terjadi pada saat itu saja. Sebelumnya wacana-wacana reposisi Polri sudah banyak didengungkan oleh para pejabat-pejabat elit negara ini. Apalagi sejak mulai adanya pembahasan RUU Kamnas, reposisi Polri juga menjadi salah satu bahasannya. Kasus terakhir yang mencuatkan kembali wacana ini adalah kasus pengamanan perebutan lahan di Mesuji dan pembubaran aksi blokir pelabuhan di Bima yang memakan korban jiwa. Polri dianggap sebagai institusi yang super power dengan membela kepentingan pemerintah. Kekuasaan Polri dipandang sangat besar dengan kedudukannya di bawah Presiden sehingga seolah-olah menjadi alat kekuasaan penguasa dan tidak memiliki sense of crisis terhadap permasalahan yang ada di masyarakat.

Sistem kepolisian suatu negara tidak terlepas dari sejarah panjang perjalanan  suatu negara tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak Polri terpisah dari ABRI dan langsung kedudukannya di bawah Presiden, Polri memiliki tugas dan kewenanangan yang cukup luas sekaligus tanggung jawab yang besar dan berat. Tentunya kewenangan tersebut membawa konsekwensi positif maupun negatif baik secara internal Kepolisian maupun ekternal yang berasal dari instansi lain dan masyarakat. Konsekwensi positifnya yaitu Polri memliki kewenangan yang luas sehingga dapat melaksanakan tugasnya secara independen dan tidak terbatas.  System Kepolisian dalam ketata negaraan harus dapat menjawab tantangan masa depan dalam kecendrungan lingkungan strategis yang meliputi fenomena global, regional dan nasional berikut implikasinya terhadap kehidupan nasional dengan berbagai tantangan tugas berupa gangguan keamanan dalam negeri yang kompleks baik bentuk, kualitas dan mobilitasnya serta berkait dengan segenap aspek kehidupan bangsa yang menuntut keberadaan sosok Polri yang profesional dan memiliki jati diri yang konsisiten serta mampu menjawab tantangan masa depan.

Kedudukan Polri

Polri merupakan salah satu alat negara yang memiliki kedudukan paling problematik. Sesuai dengan fungsi dan perannya, kedudukan Polri harus di tempatkan dalam posisi yang independen. Namun disisi lain apabila independensi kedudukan Polri salah dalam penataan systemnya maka Polri dapat menjelma menjadi institusi yang super power karena tugas dan kewenangannya yang begitu luas.  Di banyak negara demokratis, posisi Polisi selalu berada dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di bawah departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementrian sendiri yang khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri. Namun setiap negara memiliki karakteristik dan kondisi keamanannya masing-masing sehingga format dan corak serta sistem Kepolisian di suatu negara juga berbeda. Yang terpenting dalam kedudukan Polri adalah bagaiman membangun paradigma tentang akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi di manapun Polri akan terukur sejauh mana akuntabilitas Polri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya peluang untuk tetap di posisi seperti sekarang besar peluangnya selama pengawasan yang aktif dapat dilakukan.

Dalam UUD Negara RI  1945 sesungguhnya tidak ditegaskan tentang posisi kelembagaan Polri di bawah Presiden. Dalam pasal 30 ayat 5 hanya mengatur bahwa kedudukan Polri dan TNI diatur lebih lanjut dengan UU. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tantang Polri yang meletakan kedudukan Polri di bawah Presiden. Apalagi jika merujuk pada TAP MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, disebutkan bahwa Polri adalah alat negara, dan ditegaskan berada di bawah Presiden. Polri dengan kedudukannya yang cukup strategis tersebut mengakibatkan Polri menjadi institusi yang selalu menjadi sorotan baik mengenai keberhasilan maupun kesalahannya. Nama Kepolisian Negara kadang-kadang disalah artikan oleh insan-insan Polri, karena Negara hanya diartikan sebagai pemerintah saja, padahal Negara terdiri dari Pemerintah, rakyat/masyarakat, wilayah dan kedaulatan sehingga pengabdian Polri tidak hanya untuk Pemerintah saja namun yang terpenting adalah pengabdiannya kepada masyarakat. Kesalahan-kesalahan seperti kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri, pelanggaran HAM, kesalahan dalam proses penegakan hukum, prilaku negatif anggota dilapangan tersebut akan selalu dikaitkan dengan kedudukan yang dapat menyebabkan Polri melakukan abuse of power. Kedudukan Polri akan selalu dijadikan kambing hitam terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan Polri. Wacana reposisi akan selalu dihembuskan untuk ‘menebus’ setiap kesalahan yang dilakukan oleh Polri.

Harus disadari ada beberapa kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentanng Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dapat menjadi celah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan :

  1. UU Polri tidak secara ekplisit menegaskan bahwa anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali penegasan bahwa anggaran Kompolnas, sehingga dapat diduga bahwa sumber  anggaran off-budget dari pos masyarakat menjadi titik lemah Polri dalam akuntabilitas dan transfaransi pemanfaatan anggaran.
  2. Terdapat tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri. Selain sebagai penyelenggara operasional, Kapolri juga merumuskan berbagai kebijakan non operasional yang menentukan kebijakan strategis penyelenggaraan fungsi kepolisian negara. Dengan demikian ketentuan dalam UU no 2/2002 yang menyatakan Kapolri memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan teknis operasional, dalam kenyataannya lebih luas.
  3. Dalam pasal 38 UU no 2/2002 tentang Polri yang mengatur Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dikatakan bahwa tugas Kompolnas a) Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri dan; b) Memberi pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Tugas Kompolnas  yang seharusnya cukup strategis itu dalam kenyataannya masih jauh dari harapan. Kompolnas belum dapat memainkan peranan secara signifikan. Kompolnas seolah-olah masih sebatas pembantu  Presiden yang hanya dapat melaporkan kepada Presiden mengenai hal-hal yang berkenaan dengan Polri dan tidak dapat melaksanakan intervensi operasional secara langsung. Bahkan apabila dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Kompolnas dapat berjalan dengan baik masih belum memadai sebagai kontrol operasional terhadap Kapolri.
  4. Polri sebagai Polisi Nasional menyebabkan daerah enggan memberikan bantuan ataupun subsidi lainnya kepada institusi Polri. Hal ini terkait dengan tidak adanya share dalam bentuk desentralisasi manajemen Polri kepada Kepala Daerah, sehingga Polri di daerah terintegrasi dalam konektivitas kelembagaan, dan Polri secara institusi akan mendapat dukungan anggaran operasional di daerah.

Posisi dibawah Presiden seharusnya merupakan letak pertanggung jawaban secara manajemen, karena secara operasional Polisi secara universal harus independent, bebas tanpa dikendalikan oleh suatu kekuatan apapun, begitu pula seharusnya dengan Polri. Dengan kedudukan langsung di bawah presiden, Polri memosisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan, dan operasional sekaligus, yang memang harus diakui atau tidak merupakan suatu kondisi yang tidak tepat bagi tata pemerintahan yang baik (good governance). Kelemahan-kelemahan positioning Polri tersebut akan selalu menjadi pokok bahasan publik tentang perlu tidaknya dilakukan reposisi terhadap Polri.

Usulan pengalihan posisi Polri di bawah Kementerian Pertahanan jelas tidak relevan mengingat kesejarahan pemisahan TNI dan Polri justru karena dalam rangka memisahkannya dari peran-peran pertahanan yang menjadi domain TNI. Sementara usulan di bawah Kemendagri, juga tidak menjamin independensi dan profesionalitas seperti yang dibayangkan. Meskipun pengkajian ke arah reposisi itu penting, tapi tidak bisa gegabah dilakukan apalagi dengan mempertentangkannya secara langsung sebagai pelanggaran konstitusional. Kemendagri sebagai organ negara di bawah Presiden juga tidak memberikan jaminan bagi independensi dan profesionalitas. Apabila Polri di posisikan di bawah suatu departemen maka seluruh anggota Polri akan terikat pada norma-norma yang bersifat hierarkis. Prinsip diskresi dan independen yang dimiliki oleh seorang anggota Polisi akan hilang.  Ia tidak akan berani menangkap bahkan memeriksa atasan dalam departemennya apalagi pejabat birokrasi pada departemen lain. Padahal Polisi yang Universal adalah Polisi yang merupakan komponen masyarakat yang bekerja berdasarkan prinsip diskresi.

Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa kajian terhadap reposisi Polri perlu mendapat perhatian tersendiri dengan maksud menempatkan kedudukan Polri yang tepat dimana Polri harus benar-benar sebagai institusi yang independen secara operasional namun secara manajemen penentuan kebijakan strategis Polri harus diatur kembali agar Polri juga tidak berubah menjadi intitusi yang full power karena tugas dan kewenangannya sehingga dapat menyebabkan timbulnya abuse of power.  Kalaupun situasi seperti sekarang tetap dipertahankan, Polri akan selalu disibukan untuk melakukan counter opinion untuk mempertahankan kedudukannya, sehingga energi yang seharusnya dihabiskan untuk melaksanakan fungsi dan perannya akan habis untuk hanya untuk membahas masalah tersebut.

Berdasarkan banyak argumen yang berkembang dapat ditarik dua kesimpulan pilihan untuk mensikapi permasalahan kedudukan Polri yaitu yang pertama melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 terhadap kedudukan Polri dengan menempatkan di bawah departemen pemerintah dan yang kedua adalah memperkuat kedudukan Kompolnas. Secara teknis dan politis pilihan yang kedua lebih masuk akal. Dalam system Kepolisian, posisi Kompolnas memiliki fungsi yang sangat penting bukan hanya sebagai institusi yang mereprentasikan pemerintah juga mewaliki kepentingan rakyat yang memegang kunci dalam cek and balance agar fungsi Kepolisian dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kompolnas dapat memainkan fungsi sentral strategis yang dapat menghubungkan Polri, Pemerintah dan rakyat/warganegara.

Dalam pasal 38 UU no 2/2002 tentang Polri yang mengatur Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dikatakan bahwa tugas Kompolnas a) Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri dan; b) Memberi pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Kemudian dalam melaksanakan tugasnya Kompolnas berwenang untuk ;a) mengumpulkan dan menganalisa data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkait dengan anggaran Polri, pengembangan sumber daya manusia Polri dan pengembangan sarana dan prasarana Polri; b) memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri; c) menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Kepolisian dan menyampaikan kepada Presiden. Pengembangan terhadap penguatan Kompolnas merupakan hal krusial sehingga dapat melakukan pengawasan bersifat administrasi kepada Polri. Salah satu bentuknya, Kompolnas akan diberi wewenang pemeriksaan internal di kepolisian. Selama ini, pemeriksaan internal di tubuh kepolisian dipimpin Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri. Semua kebijakan strategis dalam menajemen dan administrasi harus melalui keputusan kolektif oleh anggota Kompolnas, sehingga secara otomatis Kapolri hanya melaksanakan keputusan strategis secara operasional saja.

Susunan dan komposisi keanggotaan Kompolnas saat ini sudah tepat dalam mereprentasikan perwakilan pemerintah, Kepolisian dan masyarakat. Keanggotaan Kompolnas terdiri dari 9 anggota yang terdiri dari Seorang ketua merangkap anggota dijabat oleh Menkopolhukan, Wakil Ketua merangkap anggota yang dijabat oleh Mendagri dan Menkum dan Ham, Sekretaris merangkap anggota, dan 6 (enam) orang anggota. 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah, 3 (tiga) orang pakar kepolisian dan (tiga) orang tokoh masyarakat. Karena Mendagri merupakan salah satu anggota Kompolnas, maka Kompolnas diberikan wewenang untuk menunjuk Kepala Daerah (Gubernur dan Walikota) sebagai perwakilannya didaerah yang diberi kewenangan untuk melakukan kontrol yang bersifat administrasi (administrasi control) terhadap Kepolisian yang berada di daerah yuridiksinya.

System Kepolisian (Sentralisasi dan Desentralisasi)

Secara universal peran Polisi dalam kehidupan masyarakat dirumuska sebagai penegak hukum (law enforcement officer), pemelihara ketertiban (order enforcement officer) dan pembasmi kejahatan (crime fighter). Seperti halnya aspek-aspek lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem kepolisian pada awalnya juga mengacu kepada dua model. Pertama adalah model Eropa-kontinental dan kedua adalah model Anglo-Saxon. Model kontinental bercirikan kepolisian negara yang disusun secara sentralistik yang bercirikan autoritarian dengan menyandang kewenangan luas untuk mengatur sejumlah aspek kehidupan sosial. Model Anglo-Saxon memandang bahwa kepolisian merupakan kekuatan atau lembaga sosial yang tumbuh dan berkembang dari dan oleh masyarakat (lokal) itu sendiri. Karena itu lembaga kepolisiannya disusun secara desentralistik. Di negara demokratis sistem kepolisian dibagi dalam 3 model yaitu :

  1. Fragmented System of Policing (Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri) : Disebut juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.
  2. Centralized System of Policing (Sistem Kepolisian Terpusat). Berada langsung dibawah kendali pemerintah secara tersentral. Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.
  3. Integrated System of Policing (Sistem Kepolisian Terpadu), disebut juga system desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system control yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut hal ini adalah Jepang, Australia, Brasil, dan Inggris.

Polri yang menurut UU no 2/2002 merupakan Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan perannya. Kepolisian Naional dalam system Kepolisian termasuk dalam sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing). Sistem Kepolisian yang bersifat Nasional merupakan pemilihan sistem Kepolisian yang tepat bagi Polri karena saat ini memang tren sistem Kepolisian di dunia mengarah pada Centralized System of Policing. Hal ini disebabkan karena perkembangan kejahatan dan keamanan yang semakin menghilangkan batasan antar wilayah (boarderless country). Ini dapat dilihat dari perkembangan sistem kepolisian di Amerika Serikat yang menganut sistem Fragmented namun saat ini akibat dari perkembangan keamanan dan kejahatan yang memerlukan sistem kordinasi terpusat, AS membentuk badan-badan kepolisian pada tingkat negara bagian dan federal yang mengadopsi prinsip sentralistik. Selain itu sistem Sentralistik merupakan pilihan karena system hukum Indonesia menganut sistem hukum Nasional.

Namun sesuai dengan situasi dan kondisi kewilayahan yang di Indonesia dimana terdapat keragaman budaya, kebiasaan, adat istiadat dan nilai-nilai yang berkembang sehingga struktur organisasi Polri bersifat Nasional namun prediksi dan antisipasi Polri dalam pelaksanaan setiap peran, tugas, maupun misinya harus dilakukan dan terarah pada pendekatan keamanan (Scurity Approach) di setiap daerah hukum masing-masing dan dalam hal ini bukan berdasarkan pada pendekatan administrasi dan pemerintahan (Government Institution Approach) yang menjadi kecenderungan pemerintah daerah masing-masing.

Semangat Otomomi daerah seharusnya juga memberikan warna dalam proses dan mekanisme pelimpahan dan atau penyerahan beberapa kewenangan fungsi tugas kepolisian dari pihak Mabes Polri ke kesatuan-kesatuan kewilayahan Polri secara hirarkhis atau berjenjang  (Polda, Polretabes, Polres/Polresta, maupun Polsek) dalam bentuk desentralisasi. Kepolisian daerah hendaknya diberikan keleluasan  untuk mengatur rumah tangganya sendiri terutama dalam pengelolaan sumber daya dan pengaturan program keamanan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi masing-masing wilayah.  Secara tidak sadar Polri telah menerapkan sistem desentralisasi melalui pendelegasian kewenangan kewilayahan melalui kesatuan-kesatuan wilayah seperti Polda, Polrestabes, Polres/Polresta, maupun Polsek). Untuk menciptakan kondisi ini maka setiap satuan kewilayahan Polri di seluruh tingkatan untuk mampu menyiapkan konsepsi  yang berisikan wawasan (dialektika) maupun kultur tindakan (etika) guna memprediksi dan mengantisipasi berbagai problema yang bersangkutan dengan kebijakan pembentukan dan penerapan otonomi daerah di wilayah maisng-masing. Oleh karena itu makna mewujudkan profesional dan kemandirian Polri hendaknya dapat direalisasikan secara proporsional, efektif, dan efisien sesuai dialektika dan etika otonomi daerah.

Format antisipasi Polri terhadap makna otonomi daerah, diperinci antara lain adalah menyangkut aspek sharing of  power, maupun checks and ballances dalam proses pelimpahan dan atau pembagian kekuasaan dan atau kewenangan kepolisian dan Pemerintah Pusat (Mabes Polri) kepada Pemerintah Daerah (Polda, Polresltabes, Polres/Polresta, Polsek) kiranya dapat dilakukan dengan berdasarkan prinsip-prinsip pendelegasian kekuasaan dan atau kewenangan yang terkandung dalam semangat otonomi daerah di Indonesia, yaitu: prinsip desentralisasi yang diwujudkan dengan prosedur dan mekanisme pelimpahan beberapa kewenangan fungsi Kepolisian yang selama ini langsung dilaksanakan oleh unsur-unsur unit kerja di lingkungan Mabes Polri kepada pelaksana fungsi kepolisian di satuan-satuan kewilayahan dengan disertai dukungan pendanaan dari sumber anggaran dinas Mabes Polri (APBN). Selain itu dapat diwujudkan dengan prosedur dan mekanisme penyerahan beberapa kewenangan fungsi kepolisian dalam bidang pembinaan maupun operasional Polri kepada satuan-satuan kewilayahan Polri dengan dukungan pendanaan dari sumber anggaran dinas masing-masing kesatuan kewilayahan Polri yang bersangkutan dan atau diperoleh dari APBD pemerintah daerah setempat. Dengan meniru pola Kepolisian di Inggris, sejalan dengan kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, pemerintah daerah dapat menyandang sebagian dana kepolisian di daerah khususnya untuk kepentingan penegakan keamanan di daerah dan peraturan daerah.

Dalam system pengawasan sesuai dengan pola fikir pada pembahasan kedudukan Polri diatas dimana Kompolnas dapat menunjuk Kepala Daerah (Gubernur dan Walikota) sebagai perwakilannya di daerah yang diberi kewenangan untuk melakukan kontrol yang bersifat administratif (administratif control) terhadap Kepolisian yang berada di daerah yuridiksinya. Melalui mekanisme yang disepakati bersama, Kepala Daerah diberikan wewenang dalam mengamati dan meminta pertanggungjawaban masalah pelaksanaan tugas Kepolisian dalam pelaksanaan program keamanan umum ditingkat propinsi. Selain itu Kepala daerah juga dapat meminta pertangungjawaban masalah penggunaan anggaran yang diberikan melalui APBD. Selama ini Kepala daerah melalui persetujuan DPRDnya dapat memberikan anggaran kepada Kepolisian di daerah namun tidak ada kewenangan secara formal untuk meminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan anggaran tersebut. Melalui kewenangan fungsi pengawasan terbatas yang dimiliki oleh Kepala Daerah diharapkan Kepala Daerah juga memiliki hubungan emosional dengan lembaga Kepolisian walaupun secara struktural tidak ada. Dengan adanya hubungan seperti ini Kepala Daerah juga diharapkan dapat memberikan bantuan anggaran yang berasal dari APBD kepala kepolisian daerah tanpa takut untuk menyalahi prosedur dan dapat mengontrol program keamanan umum guna tercapainya tujuan penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang tentunya akan berakibat positif terhadap perkembangan daerah setempat. Diharapkan dengan dengan pola-pola pemikiran tersebut, kepolisian di daerah mendapat dukungan dari masyarakat lokal sekaligus dapat menjadi kontrol dalam pelaksanaan tugas demi keberhasilan fungsi dan peran Polri di dalam masyarakat.

Penutup

Sesuai dengan perkembangan demokrasi di Indonesia, system dan kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan hal yang perlu mendapat pengkajian serius sehingga dapat mewujudkan Polri yang Profesional. Polri harus diletakan pada kedudukan yang independen dan terbebas dari intervensi kekuasaan manapun, namun disatu sisi karena tugas dan kewenangan Polri yang begitu luas diperlukan suatu system pengawasan dan pertanggungjawaban yang tepat untuk menghindari Polri menjelma menjadi kekuatan yang super power dan super body yang berakibat dapat terjadi abuse of power. Kedudukan Polri di bawah presiden saat ini di pandang masih relevan sebagai wadah pertanggungjawaban Polri secara administrasi dan manajemen. Namun Presiden disadari tidak hanya mengurusi masalah Polri saja sehingga di perlukan suatu Lembaga yang dapat memainkan peran strategis dalam pengawasan terhadap Polri. Kompolnas merupakan lembaga yang merupakan representasi dari perwakilan pemerintah, kepolisian dan masyarakat yang dapat dijadikan sebagai lembaga independen sebagai penentu kebijakan strategis Polri dalam bidang manajemen dan administrasi. Secara otomatis Polri dalam hal ini Kapolri hanya mengambil kebijakan strategis dalam bidang operasional Polri saja. Dilihat dari pentingnya posisi Kompolnas, perlu dilakukan penguatan-penguatan terhadap tugas dan kewenangan Kompolnas terhadap Polri. Salah satunya adalah diberikan kewenangan Kompolnas dalam pemeriksaan secara internal terhadap institusi Polri yang selama ini hanya dilakukan secara internal oleh Inspektorat Pengawasan Umum Polri.

Dalam sistem kepolisian Indonesia yang menganut Kepolisian Nasional (Sentralistik) merupakan sistem yang tepat sesuai dengan perkembangan keamanan yang semakin berkembang dan mengglobal.. Selain itu sistem kepolisian juga disesuaikan dengan sistem hukum yang dianut di Indoneia yaitu menganut sistem hukum nasional. Namun sesuai dengan situasi dan kondisi kewilayahan yang di Indonesia dimana terdapat keragaman budaya, kebiasaan, adat istiadat dan nilai-nilai yang berkembang sehingga dalam pelaksanaan setiap peran, tugas, maupun misinya harus dilakukan dan terarah pada pendekatan desentralistik. Format desentralistik dapat menyangkut aspek sharing of  power, maupun checks and ballances dalam proses pelimpahan dan atau pembagian kekuasaan dan atau kewenangan kepolisian dan Pemerintah Pusat (Mabes Polri) kepada Pemerintah Daerah (Polda, Polresltabes, Polres/Polresta, Polsek) kiranya dapat dilakukan dengan berdasarkan prinsip-prinsip pendelegasian kekuasaan dan atau kewenangan yang terkandung dalam semangat otonomi daerah di Indonesia. Pola pengawasan sistem ini dapat berupa pendelegasian kewenangan pengawasan oleh Kompolnas kepada kepala daerah dalam pengawasan atatu kontrol yang bersifat administrasi baik dalam pertanggungjawaban anggaran yang berasal dari APBD juga terhadap program keselamatan umum yang di terapkan di daerah.

DAFTAR BACAAN

 

Mohamad Farouk, 2005, Menuju Reformasi Polri, Jakarta, PTIK Press

Sulisyto Hermawan, 2009, Keamanan Negara Keamanan Nasioanal dan Civil Society, Cetakan Pertama, Jakarta, Grafika Indah

Wresniwiro dan Haris Sumarna, 2000, Membangan Polisi Profesional, Jakarta, Mitra Bintibmas.

Indarti Erlyn dkk, 2010, Reformasi Polri Dalam Konteks Potensi, Kompetensi dan Performasi Kepolisian, Jakarta, Kompolnas

Muhammad Farouk dkk, 2008, Laporan Hasil Studi Banding Tentang Kebijakan Pengelolaan Keamanan Negara, Jakarta

Mohamad Farouk, 2007, Mencari Rumah Baru Untuk Polri, Jakarta, Media Indonesia

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia